Penulis: Aisyah
Di tengah ancaman perubahan iklim dan krisis
energi global, dunia mulai menyadari bahwa ketergantungan terhadap bahan bakar
fosil bukanlah pilihan jangka panjang yang bijak. Polusi udara, efek rumah
kaca, dan menipisnya sumber daya alam telah menjadi bukti nyata bahwa kita
perlu segera beralih ke sumber energi yang lebih bersih dan ramah lingkungan.
Salah satu solusi yang terus berkembang adalah energi matahari, sumber energi
alami yang tersedia secara gratis dan melimpah sepanjang waktu. Namun, tantangannya
adalah bagaimana memanfaatkannya secara efisien, murah, dan berkelanjutan.
Selama beberapa dekade terakhir, panel surya
berbasis silikon menjadi simbol utama pemanfaatan energi matahari. Sayangnya,
teknologi ini membutuhkan proses produksi yang mahal dan kompleks. Bagi
negara-negara berkembang atau wilayah terpencil, akses terhadap panel surya
silikon masih menjadi kendala. Di sinilah muncul inovasi baru yang lebih
sederhana dan terjangkau, yaitu Dye-Sensitized Solar Cell (DSSC)—sel surya yang
bekerja dengan menggunakan zat pewarna sebagai pengubah cahaya menjadi energi
listrik (O’Regan & Grätzel, 1991).
DSSC tidak memerlukan bahan baku mahal maupun proses produksi yang rumit. Sebaliknya, teknologi ini membuka peluang penggunaan bahan-bahan alami sebagai komponen utamanya. Salah satu inovasi yang cukup menarik adalah pemanfaatan kulit terong ungu, bagian dari sayuran yang biasanya dibuang sebagai limbah dapur. Penelitian menunjukkan bahwa limbah kulit terong ini ternyata memiliki potensi sebagai penyerap cahaya yang efektif dalam teknologi sel surya (Aisyah et al., 2025).
Teknologi DSSC: Cara Kerja dan Potensi Ramah
Lingkungan
DSSC pertama kali dikembangkan oleh Brian
O’Regan dan Michael Grätzel pada awal 1990-an (O’Regan & Grätzel, 1991).
Teknologi ini terinspirasi dari proses fotosintesis pada tumbuhan. Saat cahaya
mengenai zat pewarna dalam DSSC, molekul-molekulnya melepaskan elektron.
Elektron ini kemudian mengalir melalui semikonduktor seperti titanium dioksida
(TiO₂), menciptakan arus listrik.
Keunggulan utama DSSC adalah fleksibilitas dalam penggunaan pewarna. Pewarna sintetis seperti kompleks logam rutenium terbukti efisien, namun harganya mahal dan berpotensi mencemari lingkungan (Kim et al., 2022). Karena itu, penelitian berikutnya mulai mengeksplorasi pewarna alami dari tumbuhan, buah, dan sayuran sebagai alternatif yang lebih ramah lingkungan dan berbiaya rendah.
Kulit Terong Ungu: Dari Limbah Dapur Menjadi
Sumber Energi
Terong ungu (Solanum melongena L.) dikenal
memiliki warna ungu pekat karena mengandung senyawa antosianin, pigmen alami
dari kelompok flavonoid. Antosianin tidak hanya memberi warna mencolok, tetapi
juga mampu menyerap cahaya dengan baik sebagai karakteristik penting dalam
teknologi DSSC (Amulya & Islam, 2023).
Namun, antosianin bersifat sensitif. Ia mudah
terdegradasi jika terpapar cahaya terang, suhu tinggi, atau kondisi pH yang
tidak stabil (Enaru et al., 2021). Padahal, dalam DSSC, stabilitas pewarna
sangat penting agar proses penyerapan cahaya dan transfer elektron tetap
optimal.
Penelitian menunjukkan bahwa kestabilan
antosianin dapat ditingkatkan dengan cara mengatur tingkat keasaman (pH)
ekstrak kulit terong. Dalam suasana asam ringan, struktur kimia antosianin
menjadi lebih stabil, sehingga daya serap cahayanya meningkat (Verma et al.,
2023). Inilah yang membuat kulit terong ungu menjadi kandidat ideal sebagai
pewarna alami dalam DSSC.
Bukti Laboratorium: Efisiensi yang Layak
Diperhitungkan
Melalui serangkaian uji coba di laboratorium,
peneliti menemukan bahwa ekstrak kulit terong ungu yang telah distabilkan
dengan pengaturan pH dapat digunakan secara efektif dalam DSSC. Kondisi asam
terbukti memberikan performa terbaik karena mampu menjaga struktur antosianin
tetap stabil. Hal ini memungkinkan proses penyerapan cahaya berjalan efisien
dan transfer elektron ke semikonduktor berlangsung dengan baik (Jiang et al.,
2019).
Meskipun performanya belum setara dengan DSSC
berbasis pewarna sintetis mutakhir, pewarna alami dari kulit terong tetap
menunjukkan performa yang menjanjikan. Pendekatan ini juga memiliki keunggulan
lain: biaya produksi yang lebih rendah, bahan yang lebih aman, dan tentunya,
dampak lingkungan yang jauh lebih kecil (Aisyah et al., 2025).
Tantangan dan Solusi untuk Pewarna Alami
Meskipun menarik, penggunaan pewarna alami
dalam DSSC masih menghadapi sejumlah tantangan teknis. Masalah utamanya adalah
daya tahan terhadap kondisi lingkungan dan keterbatasan spektrum cahaya yang
dapat diserap.
Beberapa solusi telah diusulkan untuk
mengatasi hal ini. Salah satunya adalah kopigmentasi, yakni mencampurkan
beberapa jenis pewarna untuk memperluas spektrum serapan cahaya (Junger et al.,
2019). Cara lain adalah menambahkan ion logam yang dapat membentuk kompleks
dengan senyawa pewarna, sehingga meningkatkan kestabilannya (Idir et al.,
2025). Selain itu, pemanfaatan adsorben organik mulai digunakan untuk menjaga
agar pewarna tetap menempel kuat pada permukaan semikonduktor (Tutar et al.,
2024).
Dengan pendekatan-pendekatan tersebut,
penelitian menunjukkan bahwa performa DSSC berbasis pewarna alami dapat
meningkat dua hingga tiga kali lipat. Ini memberikan harapan besar bahwa
teknologi ini bisa terus disempurnakan untuk penggunaan luas.
Teknologi Inklusif: Solusi Energi untuk Semua
Salah satu aspek paling menarik dari DSSC
berbasis pewarna alami adalah potensi aksesibilitasnya. Teknologi ini dapat
dikembangkan menjadi solusi energi mandiri di daerah-daerah terpencil, tanpa
harus bergantung pada jaringan listrik nasional. Dengan biaya yang rendah dan
bahan baku yang mudah didapat, masyarakat lokal bahkan berpotensi membuat panel
surya skala kecil sendiri.
Lebih dari itu, pendekatan ini mendukung
prinsip ekonomi sirkular, di mana limbah tidak dibuang, melainkan diolah
kembali menjadi sumber daya baru. Pemanfaatan limbah kulit terong menjadi
pewarna sel surya bukan hanya langkah ramah lingkungan, tapi juga membuka
peluang ekonomi baru bagi petani dan pelaku industri kecil.
Masa Depan Energi: Inovasi dari Dapur Sendiri
Temuan ini sebagai bagian dari kajian yang
berkelanjutan, bukan hanya eksperimen akademik. Ini adalah bukti nyata bahwa
solusi energi bersih bisa ditemukan dari hal-hal yang sederhana. Energi tidak
harus datang dari teknologi mahal, tidak harus diciptakan di negara industri
besar, dan tidak harus bergantung pada bahan langka. Dengan ilmu pengetahuan
dan kreativitas, bahkan limbah dapur seperti kulit terong bisa menjadi bagian
dari solusi energi masa depan. Bayangkan suatu hari nanti, rumah-rumah di desa-desa
beratapkan panel surya berbahan alami, dan limbah pertanian bukan hanya menjadi
kompos, tetapi juga pembangkit energi.
Selengkapnya klik di sini
Referensi
Aisyah,
A., Halisa, H., Ramadani, K., Firnanelty, F., Zahra, U., Nur, A., &
Patunrengi, I. I. (2025). Evaluasi kinerja dye-sensitized solar cell (DSSC)
terstabilkan dengan pewarna dari ekstrak kulit buah Solanum melongena L. Jurnal
Chemica, 26(1), 67–79.
Amulya,
P. R., & Islam, R. U. (2023). Optimization of enzyme-assisted extraction of
anthocyanins from eggplant (Solanum melongena L.) peel. Food Chemistry: X, 18,
100643. https://doi.org/10.1016/j.fochx.2023.100643
Enaru,
B., Drețcanu, G., Pop, T. D., Stǎnilǎ, A., & Diaconeasa, Z. (2021).
Anthocyanins: Factors affecting their stability and degradation. Antioxidants,
10(12), 1967. https://doi.org/10.3390/antiox10121967
Idir,
S., Achat, S., Cruz, L., & Dangles, O. (2025). Anthocyanin-rich extracts:
Susceptibility to color loss by hydration and thermal degradation, influence of
metal ions and endogenous copigments. Food Chemistry, 481, 144004.
https://doi.org/10.1016/j.foodchem.2025.144004
Jiang,
T., Mao, Y., Sui, L., Yang, N., Li, S., Zhu, Z., Wang, C., Yin, S., He, J.,
& He, Y. (2019). Degradation of anthocyanins and polymeric color formation
during heat treatment of purple sweet potato extract at different pH. Food
Chemistry, 274, 460–470. https://doi.org/10.1016/j.foodchem.2018.07.141
Junger,
I. J., Udomrungkhajornchai, S., Grimmelsmann, N., Blachowicz, T., &
Ehrmann, A. (2019). Effect of caffeine copigmentation of anthocyanin dyes on
DSSC efficiency. Materials, 12(17), 2692. https://doi.org/10.3390/ma12172692
Kim,
J. H., Kim, D. H., So, J. H., & Koo, H. J. (2022). Toward eco-friendly
dye-sensitized solar cells (DSSCs): Natural dyes and aqueous electrolytes.
Energies, 15(1), 219. https://doi.org/10.3390/en15010219
O’Regan,
B., & Grätzel, M. (1991). A low-cost, high-efficiency solar cell based on
dye-sensitized colloidal TiO₂ films. Nature, 353, 737–740.
https://doi.org/10.1038/353737a0
Tutar,
Ö. F., Öztürk, N., Bekmez, M. G., Arslan, B. S., Nebioğlu, M., & Şişman, İ.
(2024). Enhanced performance of dye-sensitized solar cells via anthocyanin,
chlorophyll, benzothiadiazole and diphenylacridine co-sensitizers and
amine-based co-adsorbents. Optical Materials, 157, 116207.
https://doi.org/10.1016/j.optmat.2024.116207
Verma,
D., Sharma, N., & Malhotra, U. (2023). Structural chemistry and stability
of anthocyanins. The Pharma Innovation Journal, 12(7), 1366–1373.
https://doi.org/10.22271/tpi.2023.v12.i7p.21416