Energi Masa Depan dari Limbah: Kulit Terong Ungu sebagai Pewarna Sel Surya Ramah Lingkungan

  • 07:42 WITA
  • Administrator
  • Artikel

Penulis: Aisyah

Di tengah ancaman perubahan iklim dan krisis energi global, dunia mulai menyadari bahwa ketergantungan terhadap bahan bakar fosil bukanlah pilihan jangka panjang yang bijak. Polusi udara, efek rumah kaca, dan menipisnya sumber daya alam telah menjadi bukti nyata bahwa kita perlu segera beralih ke sumber energi yang lebih bersih dan ramah lingkungan. Salah satu solusi yang terus berkembang adalah energi matahari, sumber energi alami yang tersedia secara gratis dan melimpah sepanjang waktu. Namun, tantangannya adalah bagaimana memanfaatkannya secara efisien, murah, dan berkelanjutan.

Selama beberapa dekade terakhir, panel surya berbasis silikon menjadi simbol utama pemanfaatan energi matahari. Sayangnya, teknologi ini membutuhkan proses produksi yang mahal dan kompleks. Bagi negara-negara berkembang atau wilayah terpencil, akses terhadap panel surya silikon masih menjadi kendala. Di sinilah muncul inovasi baru yang lebih sederhana dan terjangkau, yaitu Dye-Sensitized Solar Cell (DSSC)—sel surya yang bekerja dengan menggunakan zat pewarna sebagai pengubah cahaya menjadi energi listrik (O’Regan & Grätzel, 1991).

DSSC tidak memerlukan bahan baku mahal maupun proses produksi yang rumit. Sebaliknya, teknologi ini membuka peluang penggunaan bahan-bahan alami sebagai komponen utamanya. Salah satu inovasi yang cukup menarik adalah pemanfaatan kulit terong ungu, bagian dari sayuran yang biasanya dibuang sebagai limbah dapur. Penelitian menunjukkan bahwa limbah kulit terong ini ternyata memiliki potensi sebagai penyerap cahaya yang efektif dalam teknologi sel surya (Aisyah et al., 2025).

Teknologi DSSC: Cara Kerja dan Potensi Ramah Lingkungan

DSSC pertama kali dikembangkan oleh Brian O’Regan dan Michael Grätzel pada awal 1990-an (O’Regan & Grätzel, 1991). Teknologi ini terinspirasi dari proses fotosintesis pada tumbuhan. Saat cahaya mengenai zat pewarna dalam DSSC, molekul-molekulnya melepaskan elektron. Elektron ini kemudian mengalir melalui semikonduktor seperti titanium dioksida (TiO₂), menciptakan arus listrik.

Keunggulan utama DSSC adalah fleksibilitas dalam penggunaan pewarna. Pewarna sintetis seperti kompleks logam rutenium terbukti efisien, namun harganya mahal dan berpotensi mencemari lingkungan (Kim et al., 2022). Karena itu, penelitian berikutnya mulai mengeksplorasi pewarna alami dari tumbuhan, buah, dan sayuran sebagai alternatif yang lebih ramah lingkungan dan berbiaya rendah.

Kulit Terong Ungu: Dari Limbah Dapur Menjadi Sumber Energi

Terong ungu (Solanum melongena L.) dikenal memiliki warna ungu pekat karena mengandung senyawa antosianin, pigmen alami dari kelompok flavonoid. Antosianin tidak hanya memberi warna mencolok, tetapi juga mampu menyerap cahaya dengan baik sebagai karakteristik penting dalam teknologi DSSC (Amulya & Islam, 2023).

Namun, antosianin bersifat sensitif. Ia mudah terdegradasi jika terpapar cahaya terang, suhu tinggi, atau kondisi pH yang tidak stabil (Enaru et al., 2021). Padahal, dalam DSSC, stabilitas pewarna sangat penting agar proses penyerapan cahaya dan transfer elektron tetap optimal.

Penelitian menunjukkan bahwa kestabilan antosianin dapat ditingkatkan dengan cara mengatur tingkat keasaman (pH) ekstrak kulit terong. Dalam suasana asam ringan, struktur kimia antosianin menjadi lebih stabil, sehingga daya serap cahayanya meningkat (Verma et al., 2023). Inilah yang membuat kulit terong ungu menjadi kandidat ideal sebagai pewarna alami dalam DSSC.

Bukti Laboratorium: Efisiensi yang Layak Diperhitungkan

Melalui serangkaian uji coba di laboratorium, peneliti menemukan bahwa ekstrak kulit terong ungu yang telah distabilkan dengan pengaturan pH dapat digunakan secara efektif dalam DSSC. Kondisi asam terbukti memberikan performa terbaik karena mampu menjaga struktur antosianin tetap stabil. Hal ini memungkinkan proses penyerapan cahaya berjalan efisien dan transfer elektron ke semikonduktor berlangsung dengan baik (Jiang et al., 2019).

Meskipun performanya belum setara dengan DSSC berbasis pewarna sintetis mutakhir, pewarna alami dari kulit terong tetap menunjukkan performa yang menjanjikan. Pendekatan ini juga memiliki keunggulan lain: biaya produksi yang lebih rendah, bahan yang lebih aman, dan tentunya, dampak lingkungan yang jauh lebih kecil (Aisyah et al., 2025).

Tantangan dan Solusi untuk Pewarna Alami

Meskipun menarik, penggunaan pewarna alami dalam DSSC masih menghadapi sejumlah tantangan teknis. Masalah utamanya adalah daya tahan terhadap kondisi lingkungan dan keterbatasan spektrum cahaya yang dapat diserap.

Beberapa solusi telah diusulkan untuk mengatasi hal ini. Salah satunya adalah kopigmentasi, yakni mencampurkan beberapa jenis pewarna untuk memperluas spektrum serapan cahaya (Junger et al., 2019). Cara lain adalah menambahkan ion logam yang dapat membentuk kompleks dengan senyawa pewarna, sehingga meningkatkan kestabilannya (Idir et al., 2025). Selain itu, pemanfaatan adsorben organik mulai digunakan untuk menjaga agar pewarna tetap menempel kuat pada permukaan semikonduktor (Tutar et al., 2024).

Dengan pendekatan-pendekatan tersebut, penelitian menunjukkan bahwa performa DSSC berbasis pewarna alami dapat meningkat dua hingga tiga kali lipat. Ini memberikan harapan besar bahwa teknologi ini bisa terus disempurnakan untuk penggunaan luas.

Teknologi Inklusif: Solusi Energi untuk Semua

Salah satu aspek paling menarik dari DSSC berbasis pewarna alami adalah potensi aksesibilitasnya. Teknologi ini dapat dikembangkan menjadi solusi energi mandiri di daerah-daerah terpencil, tanpa harus bergantung pada jaringan listrik nasional. Dengan biaya yang rendah dan bahan baku yang mudah didapat, masyarakat lokal bahkan berpotensi membuat panel surya skala kecil sendiri.

Lebih dari itu, pendekatan ini mendukung prinsip ekonomi sirkular, di mana limbah tidak dibuang, melainkan diolah kembali menjadi sumber daya baru. Pemanfaatan limbah kulit terong menjadi pewarna sel surya bukan hanya langkah ramah lingkungan, tapi juga membuka peluang ekonomi baru bagi petani dan pelaku industri kecil.

 Masa Depan Energi: Inovasi dari Dapur Sendiri

Temuan ini sebagai bagian dari kajian yang berkelanjutan, bukan hanya eksperimen akademik. Ini adalah bukti nyata bahwa solusi energi bersih bisa ditemukan dari hal-hal yang sederhana. Energi tidak harus datang dari teknologi mahal, tidak harus diciptakan di negara industri besar, dan tidak harus bergantung pada bahan langka. Dengan ilmu pengetahuan dan kreativitas, bahkan limbah dapur seperti kulit terong bisa menjadi bagian dari solusi energi masa depan. Bayangkan suatu hari nanti, rumah-rumah di desa-desa beratapkan panel surya berbahan alami, dan limbah pertanian bukan hanya menjadi kompos, tetapi juga pembangkit energi.

Selengkapnya klik di sini

Referensi

Aisyah, A., Halisa, H., Ramadani, K., Firnanelty, F., Zahra, U., Nur, A., & Patunrengi, I. I. (2025). Evaluasi kinerja dye-sensitized solar cell (DSSC) terstabilkan dengan pewarna dari ekstrak kulit buah Solanum melongena L. Jurnal Chemica, 26(1), 67–79.

Amulya, P. R., & Islam, R. U. (2023). Optimization of enzyme-assisted extraction of anthocyanins from eggplant (Solanum melongena L.) peel. Food Chemistry: X, 18, 100643. https://doi.org/10.1016/j.fochx.2023.100643

Enaru, B., Drețcanu, G., Pop, T. D., Stǎnilǎ, A., & Diaconeasa, Z. (2021). Anthocyanins: Factors affecting their stability and degradation. Antioxidants, 10(12), 1967. https://doi.org/10.3390/antiox10121967

Idir, S., Achat, S., Cruz, L., & Dangles, O. (2025). Anthocyanin-rich extracts: Susceptibility to color loss by hydration and thermal degradation, influence of metal ions and endogenous copigments. Food Chemistry, 481, 144004. https://doi.org/10.1016/j.foodchem.2025.144004

Jiang, T., Mao, Y., Sui, L., Yang, N., Li, S., Zhu, Z., Wang, C., Yin, S., He, J., & He, Y. (2019). Degradation of anthocyanins and polymeric color formation during heat treatment of purple sweet potato extract at different pH. Food Chemistry, 274, 460–470. https://doi.org/10.1016/j.foodchem.2018.07.141

Junger, I. J., Udomrungkhajornchai, S., Grimmelsmann, N., Blachowicz, T., & Ehrmann, A. (2019). Effect of caffeine copigmentation of anthocyanin dyes on DSSC efficiency. Materials, 12(17), 2692. https://doi.org/10.3390/ma12172692

Kim, J. H., Kim, D. H., So, J. H., & Koo, H. J. (2022). Toward eco-friendly dye-sensitized solar cells (DSSCs): Natural dyes and aqueous electrolytes. Energies, 15(1), 219. https://doi.org/10.3390/en15010219

O’Regan, B., & Grätzel, M. (1991). A low-cost, high-efficiency solar cell based on dye-sensitized colloidal TiO₂ films. Nature, 353, 737–740. https://doi.org/10.1038/353737a0

Tutar, Ö. F., Öztürk, N., Bekmez, M. G., Arslan, B. S., Nebioğlu, M., & Şişman, İ. (2024). Enhanced performance of dye-sensitized solar cells via anthocyanin, chlorophyll, benzothiadiazole and diphenylacridine co-sensitizers and amine-based co-adsorbents. Optical Materials, 157, 116207. https://doi.org/10.1016/j.optmat.2024.116207

Verma, D., Sharma, N., & Malhotra, U. (2023). Structural chemistry and stability of anthocyanins. The Pharma Innovation Journal, 12(7), 1366–1373. https://doi.org/10.22271/tpi.2023.v12.i7p.21416