Penulis Aisyah
Optimasi proses
ekstraksi bahan alam kini telah menjadi jantung dari berbagai upaya
pengembangan produk berbasis senyawa aktif alami, terutama di bidang kimia,
biokimia, farmasi, kosmetik, hingga industri makanan dan minuman. Proses ini
tidak lagi sekadar soal menarik zat aktif dari tanaman atau bahan alam lainnya,
tetapi bagaimana cara mengekstraknya secara efisien, bersih, dan tetap
mempertahankan kualitasnya. Tujuan utamanya tentu saja untuk mendapatkan hasil
(rendemen) senyawa target sebanyak mungkin, tapi di sisi lain, proses optimasi
juga membantu menghemat energi, mengurangi pemakaian bahan kimia dan pelarut,
mempercepat waktu produksi, serta menjaga agar hasil akhir tetap konsisten
dalam mutu dan efektivitasnya. Dengan kata lain, optimasi ekstraksi bukan hanya
soal hasil, tapi juga soal cara kerja yang lebih cerdas dan berkelanjutan.
Namun, proses
ekstraksi itu sendiri sangat bergantung pada banyak faktor. Suhu, lama waktu
ekstraksi, jenis dan jumlah pelarut yang digunakan, ukuran partikel bahan,
keasaman (pH), tekanan, bahkan metode ekstraksi yang dipilih semuanya bisa
memengaruhi hasil akhir. Lebih rumitnya lagi, semua faktor ini tidak bekerja
secara sendirian, tapi saling berinteraksi secara kompleks. Artinya, jika satu
faktor berubah, bisa jadi efeknya juga terasa pada faktor lainnya. Inilah
sebabnya pendekatan coba-coba atau trial-and-error sering kali tidak cukup.
Diperlukan pendekatan ilmiah yang lebih sistematis dan cermat. Untuk itu,
penelitian mulai diarahkan untuk menggunakan berbagai metode optimasi, mulai
dari rancangan percobaan klasik yang bersifat statistik, hingga metode yang
lebih modern seperti yang menggunakan kecerdasan buatan dan algoritma berbasis
komputasi.
Artikel ini akan
menelusuri perjalanan evolusi metode optimasi ekstraksi bahan alam dari
pendekatan klasik yang sudah lama digunakan seperti Full Factorial Design,
Metode Taguchi, dan Response Surface Methodology (RSM), hingga pendekatan
mutakhir yang lebih adaptif seperti Genetic Algorithm (GA) dan Particle Swarm
Optimization (PSO). Kita akan membahas bagaimana masing-masing metode bekerja,
kelebihan serta keterbatasannya, dan bagaimana metode-metode ini bahkan bisa
saling melengkapi satu sama lain. Tujuannya sederhana namun penting: membantu
para peneliti dan industri mendapatkan hasil terbaik dari alam, dengan cara
yang paling efisien, cerdas, dan berkelanjutan.
Pendekatan Klasik
sebagai Fondasi Eksperimental dalam Optimasi
Salah satu metode
paling awal dan mendasar yang digunakan dalam proses optimasi ekstraksi adalah
Full Factorial Design (FFD). Metode ini menyusun eksperimen dengan sangat
sistematis: setiap kombinasi dari semua faktor dan tingkat (level) yang diuji
akan dicoba satu per satu. Hasilnya, kita mendapatkan gambaran yang sangat
lengkap bukan hanya mengenai pengaruh masing-masing variabel, tapi juga
bagaimana variabel-variabel tersebut saling memengaruhi satu sama lain
(Anaya-Esparza et al., 2023). Ini sangat bermanfaat ketika kita masih dalam
tahap awal memahami sistem ekstraksi tertentu, karena semua kemungkinan dibuka
dan dianalisis (Antony, 2014). Tidak heran jika FFD dianggap sebagai pendekatan
eksplorasi yang kuat, terutama untuk sistem sederhana atau penelitian skala
laboratorium.
Namun, metode ini
punya kelemahan utama: jumlah percobaannya bisa melonjak drastis seiring
bertambahnya jumlah variabel dan level (Bergquist, 2015). Misalnya, jika kita
punya empat faktor masing-masing dengan tiga level, FFD akan menghasilkan 81
kombinasi yang harus diuji jumlah yang bisa sangat membebani waktu, tenaga, dan
biaya, apalagi jika eksperimen dilakukan dalam skala besar. Dalam praktiknya,
untuk ekstraksi bahan alam yang biasanya melibatkan banyak variabel seperti
suhu, waktu, pelarut, dan pH, FFD jarang digunakan secara penuh. Sebagai
gantinya, peneliti sering memilih hanya sebagian kombinasi atau
menggabungkannya dengan pendekatan lain untuk tetap mendapatkan hasil yang
cukup representatif namun dengan jumlah eksperimen yang lebih rasional.
Sebagai solusi yang
lebih praktis, muncullah metode Taguchi, yang dikenal karena efisiensinya dalam
merancang eksperimen. Metode ini menggunakan orthogonal arrays, semacam tabel
desain yang memungkinkan banyak kombinasi dicoba dengan jumlah eksperimen yang
jauh lebih sedikit (Chen et al., 2021).
Kekuatan utama Taguchi terletak pada kemampuannya meminimalkan variasi hasil
akibat gangguan dari luar sistem (yang disebut “noise”), seperti fluktuasi suhu
ruangan, kelembapan, atau kualitas bahan baku. Karena itu, Taguchi sangat cocok
diterapkan dalam skala industri, di mana kondisi produksi tidak selalu ideal.
Dengan metode ini, kita bisa merancang proses ekstraksi yang tetap stabil
meskipun ada sedikit perubahan dari luar.
Meski demikian,
Taguchi bukan tanpa keterbatasan. Pendekatan ini kurang mampu mendeteksi
interaksi kompleks antar variabel terutama jika hubungan antar faktor tidak
linier atau sangat saling bergantung (Davis et al., 2018). Dalam kasus seperti
ini, misalnya saat satu variabel hanya berpengaruh jika dua variabel lain
berada pada kondisi tertentu, Taguchi bisa melewatkan pola penting tersebut.
Karena itu, untuk sistem ekstraksi yang rumit, di mana banyak faktor saling
terikat dalam cara yang tidak sederhana, metode ini sebaiknya digunakan dengan
hati-hati atau dikombinasikan dengan pendekatan lain yang lebih adaptif.
Untuk mengatasi
keterbatasan pada metode-metode sebelumnya, para peneliti kemudian
mengembangkan pendekatan yang lebih fleksibel dan canggih, yakni Response
Surface Methodology atau RSM. Metode ini dirancang untuk memodelkan hubungan
yang lebih kompleks bukan hanya linier, tetapi juga kuadratik antara beberapa
variabel proses dan hasil yang ingin dicapai (Brzezi?ska et al., 2023),
misalnya kadar senyawa aktif seperti flavonoid atau rendemen total minyak
atsiri. Dengan RSM, kita tidak hanya mengetahui variabel mana yang penting,
tetapi juga bagaimana variabel-variabel itu saling berinteraksi dalam membentuk
hasil akhir. Proses ini biasanya dilakukan dengan desain eksperimen yang
terstruktur seperti Central Composite Design (CCD) atau Box-Behnken Design (BBD),
yang memungkinkan kita membangun model matematika untuk menggambarkan “peta”
permukaan respons semacam visualisasi yang menunjukkan di mana titik optimal
berada (Cano-Lamadrid et al., 2023).
Kelebihan besar
dari RSM adalah efisiensinya. Dibandingkan dengan FFD, jumlah eksperimen yang
dibutuhkan jauh lebih sedikit, sehingga waktu dan biaya bisa ditekan tanpa
mengorbankan ketelitian analisis. Bahkan, RSM dapat menggambarkan interaksi
antar variabel secara lebih halus dan menyeluruh, membuatnya sangat cocok untuk
sistem ekstraksi yang mulai menunjukkan kompleksitas namun belum terlalu rumit
secara nonlinier. Itulah sebabnya metode ini banyak digunakan dalam berbagai
penelitian modern, mulai dari ekstraksi senyawa fenolik dari kulit buah,
isolasi alkaloid dari akar tanaman, hingga optimasi distilasi minyak atsiri
dari daun nilam atau sereh wangi.
Namun begitu, RSM
tetap bukan metode tanpa batas. Ketika hubungan antar variabel sudah terlalu
rumit misalnya jika tidak bisa lagi digambarkan dengan kurva kuadratik atau
terjadi nonlinearitas ekstrem, RSM mulai kehilangan akurasinya. Model yang
dibangun bisa jadi kurang mencerminkan kenyataan, dan prediksi yang dihasilkan
menjadi kurang tepat (Pilkington et al., 2014). Oleh karena itu, meskipun RSM
sangat berguna sebagai jembatan antara metode klasik dan pendekatan modern,
penggunaannya tetap harus mempertimbangkan kecocokan sistem yang sedang dikaji.
Transisi Menuju
Pendekatan Modern: Algoritma dan Kecerdasan Komputasional
Seiring dengan
makin kompleksnya sistem ekstraksi bahan alam, pendekatan-pendekatan klasik
mulai menunjukkan keterbatasannya. Metode seperti RSM memang masih sangat
berguna, tapi dalam beberapa kasus, terutama yang melibatkan banyak variabel
dan hubungan nonlinier, dibutuhkan strategi yang lebih fleksibel dan adaptif.
Inilah yang memicu berkembangnya metode optimasi modern berbasis algoritma
evolusioner dan kecerdasan buatan. Pendekatan ini tidak hanya dapat menjelajah
ruang solusi yang luas, tetapi juga mampu menyesuaikan diri terhadap
karakteristik sistem yang dinamis dan tidak selalu bisa diprediksi secara
matematis.
Salah satu
pendekatan modern yang paling dikenal adalah Genetic Algorithm (GA). Metode ini
mengambil inspirasi dari prinsip evolusi dalam biologi, di mana solusi-solusi
potensial dianggap sebagai “individu” dalam suatu populasi. Masing-masing
individu dievaluasi berdasarkan “kesehatannya” atau fitness function, yang
mencerminkan seberapa baik solusi tersebut terhadap tujuan optimasi misalnya
memaksimalkan hasil ekstraksi atau menjaga kestabilan senyawa bioaktif. Dengan
proses seleksi alam, crossover (pertukaran gen), dan mutasi, GA membentuk
generasi baru solusi yang semakin mendekati kondisi optimal. Pendekatan ini
tidak memerlukan asumsi bentuk hubungan antar variabel, sehingga sangat cocok
untuk sistem ekstraksi yang rumit, seperti kombinasi pelarut, suhu, dan waktu
dalam mengekstrak minyak atsiri dari tanaman tropis.
GA juga dikenal
mampu mengatasi sistem dengan banyak tujuan sekaligus, misalnya memaksimalkan
rendemen sambil meminimalkan penggunaan pelarut atau mencegah kerusakan termal
pada senyawa sensitif. Metode ini sudah diterapkan untuk mengekstraksi berbagai
jenis senyawa dari tanaman, termasuk fenolik, alkaloid, hingga pigmen alami.
Meski begitu, penggunaan GA menuntut kemampuan komputasi yang cukup tinggi,
apalagi jika jumlah generasi dan ukuran populasinya besar. Selain itu, hasil
akhirnya sangat bergantung pada bagaimana parameter-parameter seperti laju
mutasi dan tingkat crossover ditetapkan di awal—mirip seperti menyiapkan
eksperimen dengan banyak tombol kontrol yang harus disetel secara tepat.
Sebagai alternatif
yang tidak kalah menarik, ada Particle Swarm Optimization (PSO), yang
terinspirasi dari cara hewan-hewan seperti burung atau ikan bergerak dalam
kawanan. Dalam metode ini, setiap “partikel” mewakili solusi, dan
partikel-partikel itu saling berbagi informasi untuk bersama-sama mendekati
solusi terbaik. Gerakan partikel dikendalikan oleh pengalaman terbaik individu
dan posisi terbaik yang pernah dicapai oleh kawanan, menciptakan proses belajar
kolektif yang sangat efisien. PSO relatif lebih mudah diatur dibanding GA,
karena hanya sedikit parameter yang perlu diatur, dan kecepatan konvergensinya
juga lebih tinggi.
PSO telah digunakan
dalam banyak studi untuk mengoptimasi ekstraksi bahan alam, mulai dari metode
ultrasound-assisted extraction (UAE), microwave-assisted extraction (MAE),
hingga teknologi canggih seperti supercritical fluid extraction (SFE). Dalam
sistem dengan banyak variabel dan tujuan, PSO menunjukkan keunggulan dalam
menemukan hasil optimal tanpa terlalu banyak percobaan laboratorium. Namun,
tantangan utamanya adalah risiko stagnasi, yaitu kondisi di mana semua partikel
terlalu cepat “sepakat” pada satu titik yang ternyata bukan solusi terbaik
secara global. Dalam kasus seperti ini, kombinasi atau hibridisasi PSO dengan
algoritma lain bisa menjadi solusi yang menjanjikan.
Sinergi Antara
Pendekatan Klasik dan Modern
Pendekatan klasik
dan modern dalam optimasi ekstraksi bahan alam sesungguhnya bukanlah dua kutub
yang harus dipertentangkan. Alih-alih menggantikan satu sama lain, keduanya
dapat berperan saling melengkapi. Metode klasik seperti Response Surface
Methodology (RSM) memberikan keunggulan dalam membangun model matematis yang
mampu mengkuantifikasi hubungan antar variabel. Model ini sangat berguna untuk
memberikan dasar teoritis, sekaligus visualisasi peta respons dalam bentuk
grafik permukaan yang intuitif. RSM juga memungkinkan perencanaan eksperimen
yang lebih efisien dibanding metode konvensional, sehingga banyak digunakan
untuk menyusun kerangka awal eksplorasi sistem.
Namun, tidak semua
sistem ekstraksi dapat dijelaskan secara sederhana melalui model kuadratik.
Inilah celah yang diisi oleh pendekatan algoritmik seperti Genetic Algorithm
(GA) dan Particle Swarm Optimization (PSO), yang mampu menangani sistem yang
nonlinier, kompleks, bahkan yang tidak memiliki bentuk fungsi yang jelas (Gad,
2022). Keunggulan algoritma populasi terletak pada fleksibilitas dan kemampuan
eksplorasi yang tinggi terhadap ruang solusi yang luas, tanpa perlu menetapkan
bentuk model terlebih dahulu (Sevindik et al., 2025). Artinya, metode
algoritmik bekerja berdasarkan performa aktual data, bukan pada asumsi teoretik
semata2.
Dalam praktiknya,
para peneliti kini semakin sering menggabungkan dua pendekatan ini dalam satu
kerangka kerja yang disebut pendekatan hibrida atau hybrid optimization. Salah
satu strategi umum adalah menggunakan RSM untuk merancang eksperimen awal dan menyaring
wilayah pencarian yang relevan, kemudian dilanjutkan dengan GA atau PSO untuk
melakukan eksplorasi lebih mendalam di dalam ruang tersebut3. Dengan cara ini,
efisiensi waktu dan biaya dapat ditingkatkan, sekaligus menjaga akurasi dan
keluasan pencarian solusi optimal. Kombinasi semacam ini sangat bermanfaat
dalam sistem ekstraksi minyak atsiri atau senyawa polifenolik yang variabelnya
saling memengaruhi secara kompleks.
Lebih jauh lagi,
dunia optimasi kini bergerak ke arah multi-objective optimization sebuah
pendekatan yang mempertimbangkan lebih dari satu tujuan secara bersamaan.
Misalnya, dalam proses ekstraksi minyak nilam, peneliti tidak hanya ingin
memaksimalkan rendemen minyak, tetapi juga menjaga kemurnian patchouly alcohol
dan efisiensi energi. Dalam konteks ini, metode algoritmik memungkinkan
penerapan analisis Pareto front, yang menyajikan serangkaian solusi optimal
berdasarkan keseimbangan antara berbagai tujuan yang mungkin bertentangan satu
sama lain (Fromer et al., 2024). Visualisasi Pareto ini membantu peneliti
memahami trade-off dan membuat keputusan yang lebih bijak sesuai kebutuhan
aplikasi di lapangan, baik untuk industri kosmetik, farmasi, maupun aromaterapi.
Dengan
menggabungkan kekuatan teoritis dari pendekatan klasik dan fleksibilitas
eksploratif dari metode modern, dunia penelitian ekstraksi bahan alam kini
memasuki era baru yang lebih efisien, presisi, dan responsif terhadap tantangan
sistem kompleks.
Arah Masa Depan dan
Implikasi untuk Ilmu Pengetahuan
Perkembangan metode
optimasi dalam ekstraksi bahan alam bukan sekadar soal menemukan teknik baru
yang lebih “canggih”, tetapi mencerminkan pergeseran paradigma dalam dunia
sains: dari kerja eksperimental yang padat waktu dan tenaga, menuju integrasi
yang harmonis antara eksperimen, statistika, dan teknologi komputasi. Langkah
ini bukan hanya mempercepat proses penelitian, tetapi juga meningkatkan presisi
hasil dan memperluas jangkauan eksplorasi yang sebelumnya sulit dijangkau
dengan cara konvensional.
Dalam konteks
ekstraksi senyawa aktif dari tumbuhan, seperti minyak atsiri, polifenol, atau
pigmen alami, tantangan masa kini dan masa depan tidak lagi sebatas mendapatkan
rendemen tinggi. Fokus kini meluas mencakup aspek keberlanjutan bahan baku,
keamanan produk terhadap kesehatan manusia, serta konsistensi kualitas dalam
skala produksi besar. Ini berarti, optimasi tidak hanya harus “cerdas” secara
sains, tetapi juga “etis” secara lingkungan dan sosial.
Salah satu
konsekuensi dari adopsi algoritma modern seperti GA, PSO, atau metode hibrida
lainnya adalah meningkatnya tuntutan akan literasi digital dan komputasional.
Tidak bisa dipungkiri, kemampuan menggunakan perangkat lunak statistik dan
bahasa pemrograman kini menjadi keterampilan esensial bagi para peneliti bahan
alam. Di sinilah peran institusi pendidikan tinggi menjadi krusial, mereka
perlu memperluas kurikulum dalam bidang statistika terapan, data science, dan
optimasi berbasis algoritma agar generasi ilmuwan selanjutnya mampu menghadapi
tantangan zaman.
Selain itu,
industri pengolahan bahan alam seperti kosmetik, farmasi herbal, dan makanan
fungsional juga perlu membekali SDM-nya dengan pemahaman tentang metode
optimasi berbasis data. Pelatihan rutin dan kolaborasi antara akademisi dan
industri menjadi kunci untuk menerapkan inovasi ini secara nyata di lapangan,
bukan hanya berhenti di level laboratorium atau publikasi ilmiah.
Secara keseluruhan, perjalanan metode optimasi dari pendekatan klasik menuju pendekatan modern mencerminkan transformasi yang lebih luas dalam metodologi ilmiah—yakni dari dominasi eksperimen manual ke arah pemanfaatan teknologi digital, komputasi berbasis algoritma, dan bahkan kecerdasan buatan. Transformasi ini membawa dampak besar terhadap cara kita mengeksplorasi, mengevaluasi, dan memanfaatkan kekayaan hayati. Dalam konteks ekstraksi bahan alam, hal ini berkontribusi pada proses yang tidak hanya lebih cepat dan akurat, tetapi juga lebih hemat energi, lebih ramah lingkungan, dan lebih siap menjawab kebutuhan pasar global yang semakin menuntut kualitas dan keberlanjutan.
Referensi
Anaya-Esparza, L.
M., Aurora-Vigo, E. F., Villagrán, Z., Rodríguez-Lafitte, E., Ruvalcaba-Gómez,
J. M., Solano-Cornejo, M. Á., Zamora-Gasga, V. M., Montalvo-González, E.,
Gómez-Rodríguez, H., Aceves-Aldrete, C. E., & González-Silva, N. (2023).
Design of Experiments for Optimizing Ultrasound-Assisted Extraction of
Bioactive Compounds from Plant-Based Sources. Molecules 2023, Vol. 28, Page
7752, 28(23), 7752. https://doi.org/10.3390/MOLECULES28237752
Antony, J. (2014).
Full Factorial Designs. In Design of Experiments for Engineers and Scientists
(pp. 63–85). Elsevier. https://doi.org/10.1016/B978-0-08-099417-8.00006-7
Bergquist, B.
(2015). Some ideas on why factorial designs are seldom used for full-scale
experiments in continuous production processes. Total Quality Management and
Business Excellence, 26(11–12), 1242–1254.
https://doi.org/10.1080/14783363.2014.929230
Brzezi?ska, R.,
Górska, A., Wirkowska-Wojdy?a, M., & Piasecka, I. (2023). Response Surface
Methodology as a Tool for Optimization of Extraction Process of Bioactive
Compounds from Spent Coffee Grounds. Applied Sciences 2023, Vol. 13, Page 7634,
13(13), 7634. https://doi.org/10.3390/APP13137634
Cano-Lamadrid, M.,
Martínez-Zamora, L., Mozafari, L., Bueso, M. C., Kessler, M., &
Artés-Hernández, F. (2023). Response Surface Methodology to Optimize the
Extraction of Carotenoids from Horticultural By-Products—A Systematic Review.
Foods, 12(24), 4456. https://doi.org/10.3390/FOODS12244456/S1
Chen, H. J., Lin,
H. C., & Tang, C. W. (2021). Application of the Taguchi Method for
Optimizing the Process Parameters of Producing Controlled Low-Strength
Materials by Using Dimension Stone Sludge and Lightweight Aggregates.
Sustainability 2021, Vol. 13, Page 5576, 13(10), 5576.
https://doi.org/10.3390/SU13105576
Davis, R., John,
P., Davis, R., & John, P. (2018). Application of Taguchi-Based Design of
Experiments for Industrial Chemical Processes. In Statistical Approaches With
Emphasis on Design of Experiments Applied to Chemical Processes. IntechOpen.
https://doi.org/10.5772/INTECHOPEN.69501
Fromer, J. C.,
Graff, D. E., & Coley, C. W. (2024). Pareto optimization to accelerate
multi-objective virtual screening. Digital Discovery, 3(3), 467–481.
https://doi.org/10.1039/D3DD00227F
Gad, A. G. (2022).
Particle Swarm Optimization Algorithm and Its Applications: A Systematic
Review. Archives of Computational Methods in Engineering 2022 29:5, 29(5),
2531–2561. https://doi.org/10.1007/S11831-021-09694-4
Pilkington, J. L.,
Preston, C., & Gomes, R. L. (2014). Comparison of response surface
methodology (RSM) and artificial neural networks (ANN) towards efficient
extraction of artemisinin from Artemisia annua. Industrial Crops and Products,
58, 15–24. https://doi.org/10.1016/J.INDCROP.2014.03.016
Sevindik, M., Bal, C., Krupodorova, T., Gürgen, A., & Eraslan, E. C. (2025). Extract optimization and biological activities of Otidea onotica using Artificial Neural Network-Genetic Algorithm and response surface methodology techniques. BMC Biotechnology, 25(1), 1–12. https://doi.org/10.1186/S12896-025-00960-Y/FIGURES/3