Sintesis Hijau, Berkelanjutan dan Ramah Lingkungan

  • 10:51 WITA
  • Administrator
  • Artikel

Pendekatan dalam reaksi dan proses kimia terus berkembang untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan manusia, salah satu konsep yang mendasari upaya ini adalah kimia hijau. Dalam konteks sintesis senyawa organik, kimia hijau memberi panduan pemilihan bahan baku, pelarut, katalis, dan metode yang lebih ramah lingkungan. Beberapa aspek penting dalam sintesis kimia hijau akan diulas bersama contoh penerapannya, serta evaluasi keberlanjutan menggunakan metrik kimia hijau.

Pendekatan Kimia Hijau dalam Pemilihan Kondisi Reaksi

1. Bahan Kimia dan Bahan Baku Berkelanjutan

Prinsip ini menekankan pentingnya menggantikan senyawa-senyawa kimia yang berbahaya dengan bahan yang kurang toksik atau biodegradable (Anastas & Eghbali, 2010). Termasuk di dalamnya adalah pemanfaatan sumber daya terbarukan/biomassa seperti selulosa, pati, atau minyak nabati untuk menggantikan bahan berbasis petrokimia dalam banyak sintesis. Sebagai contoh, produksi asam levulinat dari limbah lignoselulosa (Liu et al., 2020; Pratama et al., 2020; Zarin et al., 2020). Senyawa ini dapat digunakan sebagai prekursor dalam pembuatan pelarut hijau, plastik, atau aditif bahan bakar. Biodiesel adalah salah satu bahan bakar alternatif yang bisa diproduksi dari reaksi transesterifikasi miyak nabati seperti minyak jarak, minyak sawit, minyak kemiri sunan dan minyak nyamplung (Buasri & Loryuenyong, 2018; Juwono et al., 2023; Tambun et al., 2017). Contoh lain adalah penggunaan limbah organik dan pertanian sebagai bahan baku bioetanol seperti tandan kosong kelpa sawit, tebu, gandum dan singkong(Assaf et al., 2024; Canilha et al., 2012; Pratiwi et al., 2017; Soeprijanto et al., 2022).

2. Pelarut Hijau

Pelarut memegang peranan penting dalam reaksi. Selain berfungsi untuk melarutkan reaktan- reaktan agar dapat saling kontak dan mengontrol suhu reaksi dengan mendistribusikan panas reaksi, pelarut juga berperan menstabilkan senyawa antara, mengontrol selektivitas dan ikut memengaruhi mekanisme reaksi. Dalam memilih pelarut, efek lingkungan dan kesehatan perlu dipertimbangkan. Sebelum kimia hijau digagas, reaksi kimia umumnya menggunakan pelarut berbasis minyak bumi dengan karakteristik mudah menguap pada suhu dan tekanan ruang. Pelarut ini dikenal sebagai Volatile Organic Compound (VOC) seperti metil klorida, propana, butana, heksan, aseton, metanol, etanol anhidrat, formaldehid, heksanal dan toluen. Pelarut-pelarut ini ditetapkan oleh EPA-lembaga perlindungan lingkungan Amerika Serikat yang banyak diacu negara lain, sebagai pelarut berbahaya karena dapat berpartsipasi dalam reaksi fotokimia di atmosfer

Pelarut non VOC perlu dipertimbangkan untuk memenuhi prinsip kimia hijau. Pelarut hijau antara lain air, gliserol, larutan ionik/ Ionic Liquids (ILs), Supercritical Fluid (SCFs) (Chaudary et al. 2020), Deep Eutektik Solvent (DES), dan NADES(Chakraborty et al., 2023). Air sebagai pelarut universal sering digunakan dalam sintesis organik hijau begitupula pelarut-pelarut yang diproduksi dari biomassa seperti bioetanol. Pada reaksi aldol silang, reaksi dapat dilakukan dalam air tanpa memerlukan pelarut organik tambahan, sehingga mengurangi dampak lingkungan. Selain air, pelarut ionik dan cairan superkritikal seperti CO2 superkritis juga banyak digunakan dalam reaksi sintesis organik.

3. Katalis Hijau

Reaksi yang berlangsung stokiometris tanpa katalis memang dianggap lebih murah karena menggunakan bahan kimia yang lebih murah dengan reaksi-reaksi yang sudah dikenal efektif. Namun reaksi tanpa katalis dinilai tidak efisien dan tidak ramah lingkungan karena menghasilkan banyak produk samping yang akhirnya menjadi limbah reaksi. Kesadaran dan kebutuhan akan reaksi yang lebih bersih mendorong lahirnya evolusi katalisis dalam sintesis organik di skala laboratorium hingga skala industri. Meskipun seringkali membutuhkan biaya lebih, penggunaan katalis dapat meningkatkan laju reaksi, efisiensi energi dan selektvitas reaksi serta mengurangi penggunaan reagen dan produksi limbah.

Katalis berbasis logam transisi banyak digunakan untuk menggantikan katalis dari logam alkali dan alkali tanah. Katalis ini dapat berasal dari golongan logam mulia langka/ Scarce Precious Metal (SPMs) seperti Au, Pd, Pt, Rh dan Ru (King & Regmi, 20200). Perkembangan teknologi katalisis menunjukkan kecenderungan penggunaan logam biasa yang lebih melimpah di alam  seperti Fe, Cu dan Ni (Vo, et al., 2023). Logam-logam ini lazim ditemukan dalam enzim sehingga biokatalisis dengan enzim juga dianggap bagian dari evolusi katalisis.

Katalis logam transisi dapat berupa katalis homogen dan heterogen. Senyawa kompleks logam transisi adalah katalis homogen sementara bentuk logamnya seperti Ni, Pd, Pt dan Ru atau oksida logamnya seperti V2O5, ZrO2 dan CuO adalah katalis heterogen. Katalis heterogen memiliki kelebihan mudah dipisahkan dari produk dan dapat diregenerasi. Di sisi lain katalis homogen memiliki kelebihan pada kecepatan difusi yang lebih tinggi sehingga reaksi dapat berlangsung lebih cepat. Kelebihan masing-masing jenis katalis ini dapat disatukan dalam bentuk katalis homogen  yang diheterogenisasi dengan cara diimobilisasi oleh padatan pendukung seperti alumina, zeolit atau silika. Contoh katalis ini adalah kompleks Ru-BINAP (Turova, et al, 2012) dengan padatan pendukung alumina atau silika dengan lapisan heteropolyacid (HPA). Reaksi Heck adalah salah satu contoh penggunaan katalis hijau yaitu Pd/C yang dapat didaur ulang hingga beberapa kali sehingga mengurangi biaya dan limbah logam berat (Xie et al,2004).

4. Efisiensi Energi dengan Teknologi Modern

Salah satu strategi penting dalam sintesisi hijau adalah efisiensi energi. Sintesis konvensional umumnya berlangsung dalam suhu tinggi dan waktu reaksi yang panjang. Dengan memanfaatkan energi hijau reaksi dapat berlangsung lebih bersifat ekonomis dengan memanfaatkan sumber-sumber energi yang tidak bergantung pada pembakaran bahan bakar fosil. Perkembangan teknologi di bidang energi membantu pengurangan waktu reaksi sehingga konsumsi energi dapat dikurangi. Teknologi ini memanfaatkan antara lain radiasi gelombang mikro, emisi gelombang ultrasonik dan prinsip mekanokimia.

Pemanasan gelombang mikro mempercepat jalannya reaksi dengan mentransfer energi secara langsung ke molekul reaktan tanpa harus melalui pemanasan medium secara keseluruhan, sehingga meningkatkan efisiensi energi dan mempercepat pencapaian kondisi reaksi yang optimal (Varma, 2012). Panas yang dihasilkan berasal dari tumbukan antar partikel yang berosilasi sesuai dengan osilasi gelombang mikro. Pada reaksi Suzuki, reaksi kopling C-C yang dikatalisis oleh Paladium antara aril bromida dengan asam aril boronat, dihasilkan produk biaril dengan rendemen hingga 91% pada kondisi radiasi gelombang mikro selama 15 menit pada suhu 120°C. (Leadbeater & Marco, 2002). Suatu perbandingan reaksi ?-eliminasi dari bromoasetal pada suhu 75C selama 5 menit menghasilkan alkena asetal dengan rendemen yang berbeda signifikan. Pemanasan konvensional menghasikan rendemen 36 dan 41% sementara pemanasan gelombang mikro menghasilkan rendemen 87 dan 95% (Thorwirth, et. al., 2010).

Reaksi tanpa pelarut yang dilakukan dengan penggilingan bahan baku menggunakan ball mill mengurangi kebutuhan pelarut dan limbah kimia (Abdullah & Rabeaa, 2020). Sebagai contoh, sintesis N–aryl imidazol dari aldehida, amina, dan urea dapat dilakukan hanya dengan mekanokimia (Mlosto? et al., 2022).

5. Reaksi dengan Tahapan yang Efisien

Reaksi Multikomponen (MCRs) atau reaksi “one-pot" adalah pendekatan populer dalam kimia hijau. Reaksi ini melibatkan lebih dari dua reaktan untuk menghasilkan produk kompleks dalam satu langkah (Müller, 2019). MCR memungkinkan penggabungan tiga atau lebih reaktan dalam satu reaksi untuk menghasilkan produk kompleks dalam satu tahap reaksi.

Kelebihan MCR meliputi efisiensi tinggi, ekonomi atom, dan kemampuan untuk menghasilkan molekul kompleks dengan berbagai fungsi dalam satu langkah (Mohlala et al., 2024). Karakteristik ini menjadikan MCR sangat penting dalam penemuan obat, ilmu material, dan sintesis produk alami. Selain itu, kesederhanaan inheren dalam menggabungkan beberapa reaktan dalam satu wadah mengurangi timbulnya limbah dan konsumsi energi, yang sejalan dengan prinsip kimia hijau. Namun, kompleksitas reaksi ini terkadang dapat menjadi kekurangan (Ajay, 2017). Optimalisasi reaksi sering kali memerlukan kontrol kondisi yang tepat seperti suhu, pilihan pelarut, dan rasio reaktan. Selain itu, reaksi samping atau pembentukan produk sampingan dapat mempersulit isolasi produk dan mengurangi hasil keseluruhan.

Metode Sintesis Hijau Terkini

Metode kontemporer dalam MCR memanfaatkan sistem katalitik canggih, seperti organokatalis, katalis logam transisi, dan fotokatalis, untuk meningkatkan efisiensi dan selektivitas reaksi. Skrining skala besar dan pemodelan komputasional semakin banyak digunakan untuk memprediksi jalur reaksi yang layak, sehingga mempercepat pengembangan metodologi MCR baru. Inovasi seperti flow chemstry  dan MCR berbantuan gelombang mikro memberikan kemajuan lebih lanjut dalam skalabilitas dan kecepatan reaksi. Masa depan MCR terletak pada perluasan cakupannya untuk mencakup bahan baku terbarukan, seperti reagen yang berasal dari biomassa, guna memastikan keberlanjutan. Selain itu, mengintegrasikan MCR dengan bidang yang sedang berkembang seperti pembelajaran mesin untuk prediksi dan otomatisasi reaksi dapat merevolusi strategi sintetis, yang memungkinkan desain molekul multifungsi yang lebih kompleks dengan dampak lingkungan yang minimal. Selain itu dengan menggabungkan beberapa langkah reaksi dalam satu wadah, limbah dapat diminimalkan.

Salah satu penerapan MCR adalah reaksi Ugi untuk sintesis total berbagai senyawa alami. Reaksi ini melibatkan keton atau aldehida, amina, isosianida dan asam karboksilat untuk membentuk bis-amida . Reaksi ini dinamai menurut Ivar Karl Ugi, yang pertama kali melaporkan reaksi ini pada tahun 1959. Berbagai versi reaksi Ugi telah diterapkan dalam mensintesis produk alami yang rumit, yang menyoroti pentingnya strategisnya dalam kimia sintetis modern (Rocha et al., 2020; Zhang et al, 2024).

Selain itu, reaksi Passerini juga telah digunakan untuk membentuk senyawa heterosiklik (Banfi et al., 2021), polimer (Kumar et al, 2023), asam amino (Berlozecky et al, 2008), dan produk obat (Li et al., 2024). Reaksi ini menghasilkan depsipeptida asiklik, yang selanjutnya dapat diubah menjadi senyawa heterosiklis stabil yang cocok untuk penggunaan obat. Perkembangan terkini telah memperluas cakupan reaksi Passerini, meningkatkan kegunaannya dalam menciptakan berbagai struktur molekuler.

Metrik Evaluasi Keberlanjutan

Evaluasi Sintesis Organik Hijau Menggunakan Metrik Kimia Hijau

Sintesis organik hijau dievaluasi menggunakan metrik-metrik yang terdefinisi dengan baik untuk menilai kesesuaiannya dengan prinsip kimia hijau (Anastas & Eghbali, 2010) . Salah satu metrik yang paling umum digunakan adalah atom economy (ekonomi atom), yang menekankan efisiensi penggunaan semua atom dalam reaktan untuk meminimalkan limbah (Sheldon, 2023). Ekonomi atom yang tinggi menunjukkan bahwa sintesis tersebut mengintegrasikan sebanyak mungkin atom dari reaktan ke dalam produk yang diinginkan, sehingga menjadi ciri khas reaksi yang berkelanjutan. Metrik penting lainnya termasuk E-factor (Faktor Lingkungan), yang mengevaluasi total jumlah limbah yang dihasilkan per kilogram produk, dan Process Mass Intensity (PMI), yang mengukur total massa semua input relatif terhadap produk (Martínez et al., 2022). Reaksi dengan nilai E-factor dan PMI yang lebih rendah dianggap lebih hijau karena menghasilkan limbah yang lebih sedikit dan menggunakan sumber daya secara lebih efektif. Selain itu, pemilihan pelarut, konsumsi energi, dan penggunaan reagen berbahaya juga merupakan parameter penting. Preferensi terhadap bahan baku terbarukan dan reagen yang kurang beracun lebih lanjut meningkatkan keberlanjutan proses sintesis organik.

Pengembangan Metrik Hijau untuk Aplikasi Masa Depan

Kemajuan terbaru dalam metrik kimia hijau mencakup integrasi Lifecycle Assessment (LCA) untuk mengevaluasi dampak lingkungan secara keseluruhan dari suatu jalur sintesis, mulai dari perolehan bahan baku hingga pembuangan produk (Reyes et al, 2023). Alat seperti Green Chemistry Metrics Toolkit dan perangkat lunak seperti Green Chemistry Assistant memungkinkan para kimiawan untuk mengukur aspek keberlanjutan dari jalur sintesis dengan lebih efektif. Selain itu, metrik seperti efisiensi energi, yang mempertimbangkan kondisi reaksi seperti suhu dan tekanan, semakin penting dalam mengevaluasi sintesis organik hijau. Di masa depan, kombinasi metrik-metrik ini dengan pembelajaran mesin dan kecerdasan buatan dapat memberikan wawasan waktu nyata untuk mengoptimalkan reaksi agar lebih berkelanjutan. Dengan sudut pandang komprehensif menegnai dampak lingkungan, ekonomi, dan sosial, metrik-metrik ini membantu memastikan bahwa sintesis organik hijau terus berkembang menuju praktik yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan.

Penutup

Kimia hijau menawarkan solusi berkelanjutan untuk menjawab tantangan lingkungan dalam sintesis senyawa organik. Dengan memanfaatkan bahan baku terbarukan, pelarut ramah lingkungan, katalis yang efisien, dan teknologi modern, limbah dan dampak negatif terhadap lingkungan dapat dihindari. Melalui evaluasi menggunakan metrik kimia hijau, efisiensi proses dapat terus ditingkatkan, menjadikan sintesis organik lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Referensi

Abdullah, J. A., & Rabeaa, M. A. (2020). Grinding-assisted synthesis of some heterocyclic compounds. Asian Journal of Chemistry, 32(7), 1713–1718. https://doi.org/10.14233/ajchem.2020.22268

Ajay, C. (2017). Multicomponent Reactions?: Development , Scope , [University of Groningen]. https://pure.rug.nl/ws/portalfiles/portal/42648821/Complete_thesis.pdf

Anastas, P., & Eghbali, N. (2010). Green Chemistry: Principles and Practice. Chemical Society Reviews, 39(1), 301–312. https://doi.org/10.1039/b918763b

Assaf, J. C., Mortada, Z., Rezzoug, S. A., Maache-Rezzoug, Z., Debs, E., & Louka, N. (2024). Comparative Review on the Production and Purification of Bioethanol from Biomass: A Focus on Corn. Processes, 12(5). https://doi.org/10.3390/pr12051001

Banfi, L., Basso, A., Lambruschini, C., Moni, L., & Riva, R. (2021). The 100 facets of the Passerini reaction. Chemical Science, 12(47), 15445–15472. https://doi.org/10.1039/d1sc03810a

Buasri, A., & Loryuenyong, V. (2018). Continuous production of biodiesel from rubber seed oil using a packed bed reactor with BaCl2 impregnated CaO as catalyst. Bulletin of Chemical Reaction Engineering and Catalysis, 13(2), 320–330. https://doi.org/10.9767/bcrec.13.2.1585.320-330

Canilha, L., Chandel, A. K., Suzane Dos Santos Milessi, T., Antunes, F. A. F., Luiz Da Costa Freitas, W., Das Graças Almeida Felipe, M., & Da Silva, S. S. (2012). Bioconversion of sugarcane biomass into ethanol: An overview about composition, pretreatment methods, detoxification of hydrolysates, enzymatic saccharification, and ethanol fermentation. Journal of Biomedicine and Biotechnology, 2012. https://doi.org/10.1155/2012/989572

Chakraborty, S., Sathe, R. Y., Chormale, J. H., Dangi, A., Bharatam, P. V., & Bansal, A. K. (2023). Effect of Deep Eutectic System (DES) on Oral Bioavailability of Celecoxib: In Silico, In Vitro, and In Vivo Study. Pharmaceutics, 15(9). https://doi.org/10.3390/pharmaceutics15092351

Juwono, H., Zakiyah, A., Subagyo, R., & Kusumawati, Y. (2023). Facile Production of Biodiesel from Candlenut Oil (Aleurites moluccana L.) Using Photocatalytic Method by Nano Sized-ZnO Photocatalytic Agent Synthesized via Polyol Method. Indonesian Journal of Chemistry, 23(5), 1304–1314. https://doi.org/10.22146/ijc.82895

Li, J., Zheng, Q., & Dömling, A. (2024). Exploring Phthalimide as the Acid Component in the Passerini Reaction. Organic Letters, 26(4), 829–833. https://doi.org/10.1021/acs.orglett.3c03962

Liu, C., Lu, X., Yu, Z., Xiong, J., Bai, H., & Zhang, R. (2020). Production of Levulinic Acid from Cellulose and. Catalysts, 10(9), 1–22. https://doi.org/10.3390/catal10091006

Martínez, J., Cortés, J. F., & Miranda, R. (2022). Green Chemistry Metrics, A Review. Processes, 10(7). https://doi.org/10.3390/pr10071274

Mlosto?, G., Celeda, M., Heimgartner, H., Duda, D., Obijalska, E., & Jasi?ski, M. (2022). Synthesis and Selected Transformations of 2-Unsubstituted Imidazole N-Oxides Using a Ball-Milling Mechanochemical Approach. Catalysts, 12(6). https://doi.org/10.3390/catal12060589

Mohlala, R. L., Rashamuse, T. J., & Coyanis, E. M. (2024). Highlighting multicomponent reactions as an efficient and facile alternative route in the chemical synthesis of organic-based molecules: a tremendous growth in the past 5 years. Frontiers in Chemistry, 12(September), 1–22. https://doi.org/10.3389/fchem.2024.1469677

Müller, T. J. J. (2019). Green Organic Synthesis via Multicomponent Reactions. Beilstein Journal of Organic Chemistry, 15, 1974–1975. https://doi.org/10.7423/XJENZA.2021.3.10

Pratama, A. P., Rahayu, D. U. C., & Krisnandi, Y. K. (2020). Levulinic acid production from delignified rice husk waste over manganese catalysts: Heterogeneous versus homogeneous. Catalysts, 10(3). https://doi.org/10.3390/catal10030327

Pratiwi, D. D., Nurosyid, F., Supriyanto, A., & Suryana, R. (2017). Efficiency enhancement of dye-sensitized solar cells (DSSC) by addition of synthetic dye into natural dye (anthocyanin). IOP Conference Series: Materials Science and Engineering, 176, 012012. https://doi.org/10.1088/1757-899X/176/1/012012

Reyes, K. M. D., Bruce, K., & Shetranjiwalla, S. (2023). Green chemistry, life cycle assessment, and systems thinking: An integrated comparative-complementary chemical decision-making approach. Journal of Chemical Education, 100(1), 209–220. https://doi.org/10.1021/acs.jchemed.2c00647

Rocha, R. O., Rodrigues, M. O., & Neto, B. A. D. (2020). Review on the Ugi Multicomponent Reaction Mechanism and the Use of Fluorescent Derivatives as Functional Chromophores. ACS Omega, 5(2), 972–979. https://doi.org/10.1021/acsomega.9b03684

Sheldon, R. A. (2023). The E factor at 30: a passion for pollution prevention. Green Chemistry, 25(5), 1704–1728. https://doi.org/10.1039/d2gc04747k

Soeprijanto, S., Qomariyah, L., Hamzah, A., & Altway, S. (2022). Bioconversion of Industrial Cassava Solid Waste (Onggok) to Bioethanol Using a Saccharification and Fermentation process. International Journal of Renewable Energy Development, 11(2), 357–363. https://doi.org/10.14710/IJRED.2022.41332

Tambun, R., Gusti, O. N., Nasution, M. A., & Saptawaldi, R. P. (2017). Biofuel Production From Palm Olein By Catalytic Cracking Process Using Zsm-5 Catalyst. Jurnal Bahan Alam Terbarukan, 6(1), 50–55. https://doi.org/10.15294/jbat.v6i1.8733

Zarin, M. A. A., Zainol, M. M., & Amin, N. A. S. (2020). Optimizing levulinic acid from cellulose catalyzed by HY-zeolite immobilized ionic liquid (HY-IL) using response surface methodology. Malaysian Journal of Fundamental and Applied Sciences, 16(6), 625–629. https://doi.org/10.11113/mjfas.v16n6.1970

Ditulis oleh
AISYAH, S.Si., M.Si.