Pendekatan dalam reaksi dan proses kimia terus berkembang untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan manusia, salah satu konsep yang mendasari upaya ini adalah kimia hijau. Dalam konteks sintesis senyawa organik, kimia hijau memberi panduan pemilihan bahan baku, pelarut, katalis, dan metode yang lebih ramah lingkungan. Beberapa aspek penting dalam sintesis kimia hijau akan diulas bersama contoh penerapannya, serta evaluasi keberlanjutan menggunakan metrik kimia hijau.
Pendekatan Kimia Hijau dalam Pemilihan Kondisi Reaksi
1. Bahan Kimia dan Bahan Baku Berkelanjutan
Prinsip ini menekankan pentingnya menggantikan senyawa-senyawa kimia yang berbahaya dengan bahan yang kurang toksik atau biodegradable (Anastas & Eghbali, 2010). Termasuk di dalamnya adalah pemanfaatan sumber daya terbarukan/biomassa seperti selulosa, pati, atau minyak nabati untuk menggantikan bahan berbasis petrokimia dalam banyak sintesis. Sebagai contoh, produksi asam levulinat dari limbah lignoselulosa (Liu et al., 2020; Pratama et al., 2020; Zarin et al., 2020). Senyawa ini dapat digunakan sebagai prekursor dalam pembuatan pelarut hijau, plastik, atau aditif bahan bakar. Biodiesel adalah salah satu bahan bakar alternatif yang bisa diproduksi dari reaksi transesterifikasi miyak nabati seperti minyak jarak, minyak sawit, minyak kemiri sunan dan minyak nyamplung (Buasri & Loryuenyong, 2018; Juwono et al., 2023; Tambun et al., 2017). Contoh lain adalah penggunaan limbah organik dan pertanian sebagai bahan baku bioetanol seperti tandan kosong kelpa sawit, tebu, gandum dan singkong(Assaf et al., 2024; Canilha et al., 2012; Pratiwi et al., 2017; Soeprijanto et al., 2022).
2. Pelarut Hijau
Pelarut
memegang peranan penting dalam reaksi. Selain berfungsi untuk melarutkan
reaktan- reaktan agar dapat saling kontak dan mengontrol suhu reaksi dengan
mendistribusikan panas reaksi, pelarut juga berperan menstabilkan senyawa
antara, mengontrol selektivitas dan ikut memengaruhi mekanisme reaksi. Dalam
memilih pelarut, efek lingkungan dan kesehatan perlu dipertimbangkan. Sebelum
kimia hijau digagas, reaksi kimia umumnya menggunakan pelarut berbasis minyak
bumi dengan karakteristik mudah menguap pada suhu dan tekanan ruang. Pelarut
ini dikenal sebagai Volatile Organic Compound (VOC) seperti metil klorida,
propana, butana, heksan, aseton, metanol, etanol anhidrat, formaldehid,
heksanal dan toluen. Pelarut-pelarut ini ditetapkan oleh EPA-lembaga perlindungan
lingkungan Amerika Serikat yang banyak diacu negara lain, sebagai pelarut
berbahaya karena dapat berpartsipasi dalam reaksi fotokimia di atmosfer
Pelarut non
VOC perlu dipertimbangkan untuk memenuhi prinsip kimia hijau. Pelarut hijau
antara lain air, gliserol, larutan ionik/ Ionic Liquids (ILs), Supercritical
Fluid (SCFs) (Chaudary et al. 2020), Deep Eutektik Solvent (DES), dan
NADES(Chakraborty et al., 2023). Air sebagai pelarut universal sering digunakan
dalam sintesis organik hijau begitupula pelarut-pelarut yang diproduksi dari
biomassa seperti bioetanol. Pada reaksi aldol silang, reaksi dapat dilakukan
dalam air tanpa memerlukan pelarut organik tambahan, sehingga mengurangi dampak
lingkungan. Selain air, pelarut ionik dan cairan superkritikal seperti CO2
superkritis juga banyak digunakan dalam reaksi sintesis organik.
3. Katalis
Hijau
Reaksi yang
berlangsung stokiometris tanpa katalis memang dianggap lebih murah karena
menggunakan bahan kimia yang lebih murah dengan reaksi-reaksi yang sudah
dikenal efektif. Namun reaksi tanpa katalis dinilai tidak efisien dan tidak
ramah lingkungan karena menghasilkan banyak produk samping yang akhirnya
menjadi limbah reaksi. Kesadaran dan kebutuhan akan reaksi yang lebih bersih
mendorong lahirnya evolusi katalisis dalam sintesis organik di skala
laboratorium hingga skala industri. Meskipun seringkali membutuhkan biaya
lebih, penggunaan katalis dapat meningkatkan laju reaksi, efisiensi energi dan
selektvitas reaksi serta mengurangi penggunaan reagen dan produksi limbah.
Katalis
berbasis logam transisi banyak digunakan untuk menggantikan katalis dari logam
alkali dan alkali tanah. Katalis ini dapat berasal dari golongan logam mulia
langka/ Scarce Precious Metal (SPMs) seperti Au, Pd, Pt, Rh dan Ru (King &
Regmi, 20200). Perkembangan teknologi katalisis menunjukkan kecenderungan
penggunaan logam biasa yang lebih melimpah di alam seperti Fe, Cu dan Ni (Vo, et al., 2023).
Logam-logam ini lazim ditemukan dalam enzim sehingga biokatalisis dengan enzim
juga dianggap bagian dari evolusi katalisis.
Katalis logam
transisi dapat berupa katalis homogen dan heterogen. Senyawa kompleks logam
transisi adalah katalis homogen sementara bentuk logamnya seperti Ni, Pd, Pt
dan Ru atau oksida logamnya seperti V2O5, ZrO2 dan CuO adalah katalis
heterogen. Katalis heterogen memiliki kelebihan mudah dipisahkan dari produk
dan dapat diregenerasi. Di sisi lain katalis homogen memiliki kelebihan pada
kecepatan difusi yang lebih tinggi sehingga reaksi dapat berlangsung lebih
cepat. Kelebihan masing-masing jenis katalis ini dapat disatukan dalam bentuk
katalis homogen yang diheterogenisasi
dengan cara diimobilisasi oleh padatan pendukung seperti alumina, zeolit atau
silika. Contoh katalis ini adalah kompleks Ru-BINAP (Turova, et al, 2012)
dengan padatan pendukung alumina atau silika dengan lapisan heteropolyacid
(HPA). Reaksi Heck adalah salah satu contoh penggunaan katalis hijau yaitu Pd/C
yang dapat didaur ulang hingga beberapa kali sehingga mengurangi biaya dan
limbah logam berat (Xie et al,2004).
4. Efisiensi
Energi dengan Teknologi Modern
Salah satu
strategi penting dalam sintesisi hijau adalah efisiensi energi. Sintesis
konvensional umumnya berlangsung dalam suhu tinggi dan waktu reaksi yang
panjang. Dengan memanfaatkan energi hijau reaksi dapat berlangsung lebih
bersifat ekonomis dengan memanfaatkan sumber-sumber energi yang tidak
bergantung pada pembakaran bahan bakar fosil. Perkembangan teknologi di bidang
energi membantu pengurangan waktu reaksi sehingga konsumsi energi dapat
dikurangi. Teknologi ini memanfaatkan antara lain radiasi gelombang mikro,
emisi gelombang ultrasonik dan prinsip mekanokimia.
Pemanasan
gelombang mikro mempercepat jalannya reaksi dengan mentransfer energi secara
langsung ke molekul reaktan tanpa harus melalui pemanasan medium secara
keseluruhan, sehingga meningkatkan efisiensi energi dan mempercepat pencapaian
kondisi reaksi yang optimal (Varma, 2012). Panas yang dihasilkan berasal dari
tumbukan antar partikel yang berosilasi sesuai dengan osilasi gelombang mikro.
Pada reaksi Suzuki, reaksi kopling C-C yang dikatalisis oleh Paladium antara
aril bromida dengan asam aril boronat, dihasilkan produk biaril dengan rendemen
hingga 91% pada kondisi radiasi gelombang mikro selama 15 menit pada suhu
120°C. (Leadbeater & Marco, 2002). Suatu perbandingan reaksi ?-eliminasi
dari bromoasetal pada suhu 75C selama 5 menit menghasilkan alkena asetal dengan
rendemen yang berbeda signifikan. Pemanasan konvensional menghasikan rendemen
36 dan 41% sementara pemanasan gelombang mikro menghasilkan rendemen 87 dan 95%
(Thorwirth, et. al., 2010).
Reaksi tanpa
pelarut yang dilakukan dengan penggilingan bahan baku menggunakan ball mill
mengurangi kebutuhan pelarut dan limbah kimia (Abdullah & Rabeaa, 2020).
Sebagai contoh, sintesis N–aryl imidazol dari aldehida, amina, dan urea dapat
dilakukan hanya dengan mekanokimia (Mlosto? et
al., 2022).
5. Reaksi
dengan Tahapan yang Efisien
Reaksi
Multikomponen (MCRs) atau reaksi “one-pot" adalah pendekatan populer dalam
kimia hijau. Reaksi ini melibatkan lebih dari dua reaktan untuk menghasilkan
produk kompleks dalam satu langkah (Müller, 2019). MCR memungkinkan
penggabungan tiga atau lebih reaktan dalam satu reaksi untuk menghasilkan
produk kompleks dalam satu tahap reaksi.
Kelebihan MCR meliputi efisiensi tinggi, ekonomi atom, dan kemampuan untuk menghasilkan molekul kompleks dengan berbagai fungsi dalam satu langkah (Mohlala et al., 2024). Karakteristik ini menjadikan MCR sangat penting dalam penemuan obat, ilmu material, dan sintesis produk alami. Selain itu, kesederhanaan inheren dalam menggabungkan beberapa reaktan dalam satu wadah mengurangi timbulnya limbah dan konsumsi energi, yang sejalan dengan prinsip kimia hijau. Namun, kompleksitas reaksi ini terkadang dapat menjadi kekurangan (Ajay, 2017). Optimalisasi reaksi sering kali memerlukan kontrol kondisi yang tepat seperti suhu, pilihan pelarut, dan rasio reaktan. Selain itu, reaksi samping atau pembentukan produk sampingan dapat mempersulit isolasi produk dan mengurangi hasil keseluruhan.
Metode
Sintesis Hijau Terkini
Metode
kontemporer dalam MCR memanfaatkan sistem katalitik canggih, seperti
organokatalis, katalis logam transisi, dan fotokatalis, untuk meningkatkan
efisiensi dan selektivitas reaksi. Skrining skala besar dan pemodelan
komputasional semakin banyak digunakan untuk memprediksi jalur reaksi yang
layak, sehingga mempercepat pengembangan metodologi MCR baru. Inovasi seperti
flow chemstry dan MCR berbantuan
gelombang mikro memberikan kemajuan lebih lanjut dalam skalabilitas dan
kecepatan reaksi. Masa depan MCR terletak pada perluasan cakupannya untuk
mencakup bahan baku terbarukan, seperti reagen yang berasal dari biomassa, guna
memastikan keberlanjutan. Selain itu, mengintegrasikan MCR dengan bidang yang
sedang berkembang seperti pembelajaran mesin untuk prediksi dan otomatisasi
reaksi dapat merevolusi strategi sintetis, yang memungkinkan desain molekul
multifungsi yang lebih kompleks dengan dampak lingkungan yang minimal. Selain
itu dengan menggabungkan beberapa langkah reaksi dalam satu wadah, limbah dapat
diminimalkan.
Salah satu
penerapan MCR adalah reaksi Ugi untuk sintesis total berbagai senyawa alami.
Reaksi ini melibatkan keton atau aldehida, amina, isosianida dan asam
karboksilat untuk membentuk bis-amida . Reaksi ini dinamai menurut Ivar Karl
Ugi, yang pertama kali melaporkan reaksi ini pada tahun 1959. Berbagai versi
reaksi Ugi telah diterapkan dalam mensintesis produk alami yang rumit, yang
menyoroti pentingnya strategisnya dalam kimia sintetis modern (Rocha et al.,
2020; Zhang et al, 2024).
Selain itu, reaksi Passerini juga telah digunakan untuk membentuk senyawa heterosiklik (Banfi et al., 2021), polimer (Kumar et al, 2023), asam amino (Berlozecky et al, 2008), dan produk obat (Li et al., 2024). Reaksi ini menghasilkan depsipeptida asiklik, yang selanjutnya dapat diubah menjadi senyawa heterosiklis stabil yang cocok untuk penggunaan obat. Perkembangan terkini telah memperluas cakupan reaksi Passerini, meningkatkan kegunaannya dalam menciptakan berbagai struktur molekuler.
Metrik
Evaluasi Keberlanjutan
Evaluasi
Sintesis Organik Hijau Menggunakan Metrik Kimia Hijau
Sintesis
organik hijau dievaluasi menggunakan metrik-metrik yang terdefinisi dengan baik
untuk menilai kesesuaiannya dengan prinsip kimia hijau (Anastas & Eghbali,
2010) . Salah satu metrik yang paling umum digunakan adalah atom economy
(ekonomi atom), yang menekankan efisiensi penggunaan semua atom dalam reaktan
untuk meminimalkan limbah (Sheldon, 2023). Ekonomi atom yang tinggi menunjukkan
bahwa sintesis tersebut mengintegrasikan sebanyak mungkin atom dari reaktan ke
dalam produk yang diinginkan, sehingga menjadi ciri khas reaksi yang
berkelanjutan. Metrik penting lainnya termasuk E-factor (Faktor Lingkungan),
yang mengevaluasi total jumlah limbah yang dihasilkan per kilogram produk, dan
Process Mass Intensity (PMI), yang mengukur total massa semua input relatif
terhadap produk (Martínez et al., 2022). Reaksi dengan nilai E-factor dan PMI
yang lebih rendah dianggap lebih hijau karena menghasilkan limbah yang lebih
sedikit dan menggunakan sumber daya secara lebih efektif. Selain itu, pemilihan
pelarut, konsumsi energi, dan penggunaan reagen berbahaya juga merupakan
parameter penting. Preferensi terhadap bahan baku terbarukan dan reagen yang
kurang beracun lebih lanjut meningkatkan keberlanjutan proses sintesis organik.
Pengembangan
Metrik Hijau untuk Aplikasi Masa Depan
Kemajuan terbaru dalam metrik kimia hijau mencakup integrasi Lifecycle Assessment (LCA) untuk mengevaluasi dampak lingkungan secara keseluruhan dari suatu jalur sintesis, mulai dari perolehan bahan baku hingga pembuangan produk (Reyes et al, 2023). Alat seperti Green Chemistry Metrics Toolkit dan perangkat lunak seperti Green Chemistry Assistant memungkinkan para kimiawan untuk mengukur aspek keberlanjutan dari jalur sintesis dengan lebih efektif. Selain itu, metrik seperti efisiensi energi, yang mempertimbangkan kondisi reaksi seperti suhu dan tekanan, semakin penting dalam mengevaluasi sintesis organik hijau. Di masa depan, kombinasi metrik-metrik ini dengan pembelajaran mesin dan kecerdasan buatan dapat memberikan wawasan waktu nyata untuk mengoptimalkan reaksi agar lebih berkelanjutan. Dengan sudut pandang komprehensif menegnai dampak lingkungan, ekonomi, dan sosial, metrik-metrik ini membantu memastikan bahwa sintesis organik hijau terus berkembang menuju praktik yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Penutup
Kimia hijau menawarkan solusi berkelanjutan untuk menjawab tantangan lingkungan dalam sintesis senyawa organik. Dengan memanfaatkan bahan baku terbarukan, pelarut ramah lingkungan, katalis yang efisien, dan teknologi modern, limbah dan dampak negatif terhadap lingkungan dapat dihindari. Melalui evaluasi menggunakan metrik kimia hijau, efisiensi proses dapat terus ditingkatkan, menjadikan sintesis organik lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Referensi
Abdullah, J.
A., & Rabeaa, M. A. (2020). Grinding-assisted synthesis of some
heterocyclic compounds. Asian Journal of Chemistry, 32(7), 1713–1718.
https://doi.org/10.14233/ajchem.2020.22268
Ajay, C.
(2017). Multicomponent Reactions?: Development , Scope ,
[University of Groningen].
https://pure.rug.nl/ws/portalfiles/portal/42648821/Complete_thesis.pdf
Anastas, P.,
& Eghbali, N. (2010). Green Chemistry: Principles and Practice. Chemical
Society Reviews, 39(1), 301–312. https://doi.org/10.1039/b918763b
Assaf, J. C.,
Mortada, Z., Rezzoug, S. A., Maache-Rezzoug, Z., Debs, E., & Louka, N.
(2024). Comparative Review on the Production and Purification of Bioethanol
from Biomass: A Focus on Corn. Processes, 12(5).
https://doi.org/10.3390/pr12051001
Banfi, L.,
Basso, A., Lambruschini, C., Moni, L., & Riva, R. (2021). The 100 facets of
the Passerini reaction. Chemical Science, 12(47), 15445–15472.
https://doi.org/10.1039/d1sc03810a
Buasri, A.,
& Loryuenyong, V. (2018). Continuous production of biodiesel from rubber
seed oil using a packed bed reactor with BaCl2 impregnated CaO as catalyst.
Bulletin of Chemical Reaction Engineering and Catalysis, 13(2), 320–330.
https://doi.org/10.9767/bcrec.13.2.1585.320-330
Canilha, L.,
Chandel, A. K., Suzane Dos Santos Milessi, T., Antunes, F. A. F., Luiz Da Costa
Freitas, W., Das Graças Almeida Felipe, M., & Da Silva, S. S. (2012).
Bioconversion of sugarcane biomass into ethanol: An overview about composition,
pretreatment methods, detoxification of hydrolysates, enzymatic
saccharification, and ethanol fermentation. Journal of Biomedicine and
Biotechnology, 2012. https://doi.org/10.1155/2012/989572
Chakraborty,
S., Sathe, R. Y., Chormale, J. H., Dangi, A., Bharatam, P. V., & Bansal, A.
K. (2023). Effect of Deep Eutectic System (DES) on Oral Bioavailability of
Celecoxib: In Silico, In Vitro, and In Vivo Study. Pharmaceutics, 15(9).
https://doi.org/10.3390/pharmaceutics15092351
Juwono, H.,
Zakiyah, A., Subagyo, R., & Kusumawati, Y. (2023). Facile Production of
Biodiesel from Candlenut Oil (Aleurites moluccana L.) Using Photocatalytic
Method by Nano Sized-ZnO Photocatalytic Agent Synthesized via Polyol Method.
Indonesian Journal of Chemistry, 23(5), 1304–1314.
https://doi.org/10.22146/ijc.82895
Li, J.,
Zheng, Q., & Dömling, A. (2024). Exploring Phthalimide as the Acid
Component in the Passerini Reaction. Organic Letters, 26(4), 829–833.
https://doi.org/10.1021/acs.orglett.3c03962
Liu, C., Lu,
X., Yu, Z., Xiong, J., Bai, H., & Zhang, R. (2020). Production of Levulinic
Acid from Cellulose and. Catalysts, 10(9), 1–22.
https://doi.org/10.3390/catal10091006
Martínez, J.,
Cortés, J. F., & Miranda, R. (2022). Green Chemistry Metrics, A Review.
Processes, 10(7). https://doi.org/10.3390/pr10071274
Mlosto?,
G., Celeda, M., Heimgartner, H., Duda, D., Obijalska, E., & Jasi?ski,
M. (2022). Synthesis and Selected Transformations of 2-Unsubstituted Imidazole
N-Oxides Using a Ball-Milling Mechanochemical Approach. Catalysts, 12(6).
https://doi.org/10.3390/catal12060589
Mohlala, R.
L., Rashamuse, T. J., & Coyanis, E. M. (2024). Highlighting multicomponent
reactions as an efficient and facile alternative route in the chemical
synthesis of organic-based molecules: a tremendous growth in the past 5 years.
Frontiers in Chemistry, 12(September), 1–22.
https://doi.org/10.3389/fchem.2024.1469677
Müller, T. J.
J. (2019). Green Organic Synthesis via Multicomponent Reactions. Beilstein
Journal of Organic Chemistry, 15, 1974–1975.
https://doi.org/10.7423/XJENZA.2021.3.10
Pratama, A.
P., Rahayu, D. U. C., & Krisnandi, Y. K. (2020). Levulinic acid production
from delignified rice husk waste over manganese catalysts: Heterogeneous versus
homogeneous. Catalysts, 10(3). https://doi.org/10.3390/catal10030327
Pratiwi, D.
D., Nurosyid, F., Supriyanto, A., & Suryana, R. (2017). Efficiency
enhancement of dye-sensitized solar cells (DSSC) by addition of synthetic dye
into natural dye (anthocyanin). IOP Conference Series: Materials Science and
Engineering, 176, 012012. https://doi.org/10.1088/1757-899X/176/1/012012
Reyes, K. M.
D., Bruce, K., & Shetranjiwalla, S. (2023). Green chemistry, life cycle
assessment, and systems thinking: An integrated comparative-complementary
chemical decision-making approach. Journal of Chemical Education, 100(1),
209–220. https://doi.org/10.1021/acs.jchemed.2c00647
Rocha, R. O.,
Rodrigues, M. O., & Neto, B. A. D. (2020). Review on the Ugi Multicomponent
Reaction Mechanism and the Use of Fluorescent Derivatives as Functional
Chromophores. ACS Omega, 5(2), 972–979.
https://doi.org/10.1021/acsomega.9b03684
Sheldon, R.
A. (2023). The E factor at 30: a passion for pollution prevention. Green
Chemistry, 25(5), 1704–1728. https://doi.org/10.1039/d2gc04747k
Soeprijanto,
S., Qomariyah, L., Hamzah, A., & Altway, S. (2022). Bioconversion of
Industrial Cassava Solid Waste (Onggok) to Bioethanol Using a Saccharification
and Fermentation process. International Journal of Renewable Energy
Development, 11(2), 357–363. https://doi.org/10.14710/IJRED.2022.41332
Tambun, R.,
Gusti, O. N., Nasution, M. A., & Saptawaldi, R. P. (2017). Biofuel
Production From Palm Olein By Catalytic Cracking Process Using Zsm-5 Catalyst.
Jurnal Bahan Alam Terbarukan, 6(1), 50–55.
https://doi.org/10.15294/jbat.v6i1.8733
Zarin, M. A.
A., Zainol, M. M., & Amin, N. A. S. (2020). Optimizing levulinic acid from
cellulose catalyzed by HY-zeolite immobilized ionic liquid (HY-IL) using
response surface methodology. Malaysian Journal of Fundamental and Applied
Sciences, 16(6), 625–629. https://doi.org/10.11113/mjfas.v16n6.1970
Ditulis oleh
AISYAH, S.Si., M.Si.