Ditulis oleh Amalyah Febryanti pada 21 September 2025
Pengantar
Pernahkah terbayang
bahwa mikroba, makhluk hidup yang ukurannya sangat kecil, bisa “berbicara” satu
sama lain? Tentu bukan dengan suara seperti manusia, melainkan dengan bahasa
kimia. Lewat molekul sinyal tertentu, mikroba mampu saling mengenali,
berkoordinasi, bahkan bekerja sama untuk bertahan hidup. Fenomena inilah yang
dikenal dengan istilah komunikasi mikroba.
Dalam artikel ini,
kita akan membahas bagaimana mikroba berkomunikasi, mengapa hal itu penting,
dan apa dampaknya bagi kesehatan manusia maupun lingkungan.
Pengenalan tentang
Mikroba
Mikroba atau
mikroorganisme meliputi bakteri, virus, jamur, dan protista. Meskipun berukuran
mikroskopis, perannya sangat besar dalam kehidupan di Bumi. Mereka terlibat
dalam siklus biogeokimia, seperti dekomposisi bahan organik, pembentukan tanah,
dan daur ulang nutrisi. Sebagian mikroba bermanfaat, misalnya dalam produksi
makanan, obat, dan fermentasi. Namun, ada juga mikroba patogen yang dapat
menyebabkan penyakit. Dengan perkembangan teknologi, kita semakin mampu
memahami dunia mikroba dan interaksi kompleks yang mereka lakukan, salah
satunya melalui komunikasi kimia.
Pentingnya
Komunikasi Mikroba
Komunikasi
antar-mikroba berperan penting dalam mengatur aktivitas dan kelangsungan hidup
mereka. Beberapa aspek pentingnya antara lain:
- Pembentukan Biofilm
Mikroba sering hidup dalam bentuk biofilm, yaitu komunitas yang menempel pada permukaan dan dilindungi matriks polisakarida. Biofilm membuat mereka lebih tahan terhadap stres lingkungan dan antibiotik. - Quorum Sensing
Mekanisme di mana mikroba mendeteksi kepadatan populasi melalui molekul sinyal. Jika jumlahnya cukup banyak, mereka akan mengubah ekspresi gen secara kolektif, misalnya untuk menghasilkan racun, membentuk biofilm, atau sporulasi. - Kooperasi dan Persaingan
Mikroba bisa bekerja sama untuk bertahan hidup, tapi juga bersaing untuk sumber daya. Komunikasi kimia menjadi “aturan main” dalam interaksi ini. - Kesehatan dan Penyakit
Banyak patogen menggunakan komunikasi kimia untuk meningkatkan virulensi. Di sisi lain, manipulasi komunikasi mikroba bisa menjadi strategi baru untuk menjaga kesehatan, misalnya dengan mengendalikan bakteri jahat atau memperkuat mikrobiota baik dalam tubuh.
Bahasa Mikroba:
Biofilm dan Komunikasi Kimia
Biofilm adalah
komunitas mikroba yang hidup menempel pada suatu permukaan dan dilindungi oleh
matriks pelindung. Proses pembentukan biofilm tidak terjadi secara instan,
melainkan melalui beberapa tahap. Pertama, mikroba menempel pada permukaan
dengan bantuan protein adhesin. Setelah berhasil menempel, mereka mulai
berkembang biak dan menghasilkan matriks pelindung yang tersusun dari
polisakarida, protein, dan DNA. Matriks ini berfungsi seperti “perisai” yang
menjaga komunitas tetap stabil.
Tahap berikutnya
adalah pematangan, di mana biofilm menjadi lebih padat dan kokoh. Pada fase
ini, mikroba berkomunikasi satu sama lain dengan molekul sinyal untuk mengatur
aktivitas bersama. Akhirnya, sebagian mikroba akan melepaskan diri dari biofilm
dan menyebar ke tempat baru, lalu memulai proses pembentukan biofilm kembali.
Adaptasi ini membuat mikroba dalam biofilm jauh lebih sulit diberantas
dibandingkan mikroba yang hidup bebas.
Kunci komunikasi
mikroba dalam biofilm adalah molekul sinyal yang disebut autoinducer. Molekul
kecil ini memungkinkan mikroba untuk mendeteksi seberapa padat komunitas
mereka. Saat konsentrasi molekul sinyal mencapai ambang tertentu, mikroba akan
“paham” bahwa jumlah mereka cukup banyak, lalu mulai mengaktifkan gen-gen
tertentu. Misalnya, gen untuk menghasilkan toksin, memperkuat biofilm, atau
menyesuaikan metabolisme. Dengan kata lain, autoinducer adalah bahasa kimia
yang membantu mikroba mengatur perilaku kolektif dan beradaptasi dengan
perubahan lingkungan.
Di dalam biofilm,
interaksi antar-mikroba bisa sangat kompleks. Ada kalanya mereka bekerja sama
melalui kooperasi metabolik, yaitu saling melengkapi dalam memecah nutrien yang
tersedia. Mereka juga dapat saling bertukar sinyal kimia agar aktivitas komunitas
lebih terkoordinasi. Struktur biofilm yang berbentuk tiga dimensi memberikan
perlindungan ekstra dari antibiotik maupun faktor lingkungan yang merugikan.
Namun, biofilm tidak
selalu identik dengan kerja sama. Persaingan juga terjadi ketika mikroba
berebut sumber nutrisi. Akibatnya, komposisi komunitas bisa berubah tergantung
siapa yang lebih dominan. Fenomena ini menunjukkan bahwa biofilm bukan sekadar
kumpulan mikroba, melainkan sebuah ekosistem mini yang dinamis dengan berbagai
bentuk interaksi.
Komunikasi Sel-Sel
Mikroba: Quorum Sensing
Salah satu bentuk
komunikasi paling menarik dalam dunia mikrobiologi adalah quorum sensing, yaitu
mekanisme komunikasi berbasis kepadatan populasi. Mikroba menggunakan molekul
sinyal yang disebut autoinducer untuk “menghitung” berapa banyak teman sejenis
di sekitarnya. Jika jumlah sudah cukup banyak, mereka akan mengaktifkan
serangkaian gen secara kolektif sehingga seluruh komunitas dapat bertindak
bersama.
Mekanisme ini berbeda
antara kelompok mikroba. Pada bakteri Gram negatif, sinyal umumnya berupa
senyawa kimia acyl-homoserine lactones (AHLs). Sementara itu, bakteri Gram
positif lebih sering menggunakan peptida sinyal. Menariknya, ada pula molekul
khusus bernama AI-2 yang berfungsi sebagai “bahasa universal”, memungkinkan
komunikasi lintas spesies mikroba.
Peran molekul sinyal
dalam quorum sensing sangat beragam. Mereka dapat mengaktifkan gen-gen
tertentu, mengatur pembentukan biofilm, mengendalikan tingkat virulensi, hingga
mengkoordinasikan perilaku kolektif yang hanya efektif jika dilakukan
bersama-sama. Dengan kata lain, molekul sinyal ini berfungsi layaknya “pesan
berantai” yang menghubungkan ribuan hingga jutaan sel mikroba agar bertindak
serempak.
Contoh nyata dapat
ditemukan pada bakteri laut Vibrio fischeri, yang hanya akan
menghasilkan cahaya (bioluminesensi) ketika populasinya cukup padat. Fenomena
ini membuat koloni bakteri tampak berpendar di dalam tubuh inangnya, misalnya
pada cumi-cumi laut.
Contoh lain datang
dari Staphylococcus aureus, patogen berbahaya pada manusia, yang
memanfaatkan quorum sensing untuk mengatur produksi toksin. Dengan cara ini,
bakteri baru melancarkan “serangan” ketika jumlah mereka sudah cukup banyak,
sehingga lebih efektif melawan sistem imun inang.
Selain itu, Pseudomonas
aeruginosa, bakteri oportunistik ini terkenal berbahaya pada pasien dengan
sistem imun lemah, seperti penderita fibrosis kistik. Melalui quorum sensing, P.
aeruginosa mengatur pembentukan biofilm tebal di paru-paru pasien,
sekaligus memproduksi berbagai enzim dan toksin. Akibatnya, infeksi menjadi
sulit diatasi dengan antibiotik.
Selanjutnya, ada Escherichia
coli dan Salmonella, kedua bakteri ini menggunakan sinyal AI-2 untuk
komunikasi lintas spesies. Melalui quorum sensing, mereka dapat mengatur
aktivitas metabolik dan berkoordinasi dalam kolonisasi usus. Mekanisme ini juga
membuat mereka mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berubah-ubah di
saluran pencernaan.
Ada lagi Bacillus
subtilis, mikroba tanah ini memanfaatkan quorum sensing untuk memutuskan
apakah sel akan terus membelah, membentuk biofilm, atau justru masuk ke fase
dorman (sporulasi). Dengan begitu, populasi bisa bertahan dalam kondisi
lingkungan yang keras, misalnya kekurangan nutrisi.
Candida albicans (jamur patogen), Tidak hanya bakteri, jamur
pun menggunakan sistem mirip quorum sensing. C. albicans menghasilkan
molekul sinyal farnesol untuk mengatur perubahan bentuk dari sel ragi menjadi
hifa. Perubahan bentuk ini penting dalam kolonisasi dan infeksi pada tubuh
manusia.
Rhizobium sp. yang merupakan bakteri tanah yang bersimbiosis
dengan tanaman kacang-kacangan ini menggunakan quorum sensing untuk mengatur
proses pembentukan bintil akar (nodul). Dengan koordinasi tersebut, bakteri
dapat lebih efisien dalam mengikat nitrogen dari udara untuk disalurkan ke
tanaman.
Intervensi Manusia
dalam Komunikasi Mikroba
Komunikasi mikroba
melalui mekanisme quorum sensing tidak hanya menjadi fenomena alam, tetapi juga
menjadi sasaran intervensi manusia. Antibiotik, yang selama ini digunakan untuk
membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri, ternyata dapat memengaruhi jalur
komunikasi tersebut. Namun, pendekatan ini sering kali tidak efektif ketika
mikroba membentuk biofilm, yaitu komunitas sel yang terlindungi oleh matriks
polimer sehingga menjadi lebih resisten terhadap obat.
Menyadari keterbatasan
itu, para peneliti kini mengembangkan strategi baru yang dikenal dengan istilah
quorum quenching. Alih-alih membunuh mikroba secara langsung, pendekatan
ini berfokus pada pemutusan sinyal komunikasi di antara mereka. Dengan cara
ini, perilaku kolektif yang merugikan, seperti pembentukan biofilm atau
produksi toksin, dapat ditekan tanpa menimbulkan tekanan selektif yang biasanya
mendorong timbulnya resistensi.
Potensi aplikasi dari
intervensi ini sangat luas. Dalam bidang kesehatan, terapi berbasis quorum
quenching menjanjikan sebagai alternatif pengobatan infeksi kronis.
Sementara itu, di industri pangan dan pertanian, manipulasi komunikasi mikroba
dapat digunakan untuk mengendalikan patogen atau justru memperkuat kinerja
mikroba bermanfaat dalam fermentasi maupun peningkatan kesuburan tanah. Dengan
demikian, memahami bahasa kimiawi mikroba bukan hanya membuka wawasan tentang
kehidupan mikroskopis, tetapi juga memberi peluang besar bagi manusia untuk
mengarahkan interaksi tersebut ke arah yang lebih bermanfaat.
Implikasi dalam
Kesehatan dan Lingkungan
Komunikasi mikroba
melalui quorum sensing membawa dampak besar, baik bagi kesehatan manusia maupun
keseimbangan lingkungan. Dalam tubuh manusia, mekanisme ini berperan penting
dalam proses terjadinya infeksi, perkembangan resistensi antibiotik, serta menjaga
keseimbangan mikrobiota usus. Jika komunikasi mikroba berjalan tidak
terkendali, bakteri patogen dapat berkoordinasi untuk menghasilkan toksin atau
membentuk biofilm yang membuat infeksi semakin sulit diatasi. Sebaliknya, pada
kondisi yang seimbang, interaksi mikroba justru mendukung kesehatan, misalnya
dengan memperkuat sistem kekebalan tubuh dan membantu metabolisme.
Di luar tubuh manusia,
komunikasi mikroba menjadi bagian penting dari siklus ekosistem. Mikroba
berinteraksi untuk mendukung degradasi polutan, mendaur ulang unsur hara, dan
bahkan membantu dalam proses pembentukan tanah. Melalui komunikasi ini,
komunitas mikroba dapat bekerja sama dalam memecah senyawa kompleks yang
berbahaya dan mengubahnya menjadi bentuk yang lebih ramah lingkungan.
Lebih jauh lagi,
pemahaman tentang bahasa kimiawi mikroba membuka jalan bagi inovasi teknologi
berkelanjutan. Konsep ini sudah mulai dimanfaatkan dalam pengembangan biosensor
yang dapat mendeteksi kontaminan secara cepat serta dalam bioremediasi untuk membersihkan
lingkungan yang tercemar. Dengan kata lain, memahami bagaimana mikroba
berbicara tidak hanya relevan untuk dunia medis, tetapi juga menawarkan solusi
ramah lingkungan bagi tantangan global di masa depan.
Penutup
Mikroba memang tidak
berbicara dengan suara, tapi mereka punya bahasa kimia yang kompleks. Lewat
biofilm dan quorum sensing, mereka bisa mengatur perilaku, melindungi diri,
hingga menyebabkan penyakit.
Memahami komunikasi
mikroba membuka peluang besar bagi manusia: dari penemuan obat baru, strategi
pengendalian penyakit, hingga inovasi ramah lingkungan. Dengan terus meneliti
“dialog mikroba”, kita bisa memanfaatkan bahasa kimia mereka untuk kebaikan kesehatan,
ekosistem, dan keberlanjutan hidup di Bumi.
Daftar Pustaka
Altaf, M. M., Khan, M.
S. A., Abulreesh, H. H., & Ahmad, I. (2017). Quorum sensing in plant
growth-promoting rhizobacteria and its impact on plant-microbe interaction.
In Plant-Microbe Interactions in Agro-Ecological Perspectives: Volume
1: Fundamental Mechanisms, Methods and Functions (pp. 311-331).
Singapore: Springer Singapore.
Arya, S., & Usha,
R. (2024). Bioprospecting and Exploration of Phytochemicals as Quorum Sensing
Inhibitors against Cariogenic Dental Biofilm. Journal of Pure &
Applied Microbiology, 18(1).
Bareia, T., Pollak,
S., & Eldar, A. (2018). Self-sensing in Bacillus subtilis quorum-sensing
systems. Nature Microbiology, 3(1), 83-89.
Butrico, C. E., &
Cassat, J. E. (2020). Quorum sensing and toxin production in Staphylococcus
aureus osteomyelitis: pathogenesis and paradox. Toxins, 12(8),
516.
Escobar-Muciño, E.,
Arenas-Hernández, M. M., & Luna-Guevara, M. L. (2022). Mechanisms of
Inhibition of Quorum Sensing as an Alternative for the Control of E. coli and
Salmonella. Microorganisms, 10(5), 884.
Flemming, H. C., &
Wingender, J. (2010). The biofilm matrix. Nature reviews microbiology, 8(9),
623-633.
González, J. E., &
Marketon, M. M. (2003). Quorum sensing in nitrogen-fixing rhizobia. Microbiology
and Molecular Biology Reviews, 67(4), 574-592.
Le, K. Y., & Otto,
M. (2015). Quorum-sensing regulation in staphylococci—an overview. Frontiers
in microbiology, 6, 1174.
Lami, R., &
Teyssèdre, A. Coopération par quorum sensing chez les bactéries.
Nagi, M., Chapple, I.
L., Sharma, P., Kuehne, S. A., & Hirschfeld, J. (2023). Quorum sensing in
oral biofilms: influence on host cells. Microorganisms, 11(7),
1688.
Tolker-Nielsen, T.
(2015). Biofilm development. Microbial Biofilms, 51-66.
Vadakkan, K.,
Ngangbam, A. K., Sathishkumar, K., Rumjit, N. P., & Cheruvathur, M. K.
(2024). A review of chemical signaling pathways in the quorum sensing circuit
of Pseudomonas aeruginosa. International Journal of Biological
Macromolecules, 254, 127861.
Wu, S., Yang, S.,
Wang, M., Song, N., Feng, J., Wu, H., ... & Qiao, J. (2023). Quorum
sensing-based interactions among drugs, microbes, and diseases. Science
China Life Sciences, 66(1), 137-151.
Zhang, X., Liu, B.,
Ding, X., Bin, P., Yang, Y., & Zhu, G. (2022). Regulatory mechanisms
between quorum sensing and virulence in Salmonella. Microorganisms, 10(11),
2211.
Selengkapnya klik di sini